Asuransi Terbaik di Dunia

Suatu senja di sebuah ruangan kecil. Aku berbincang dengan teman, entah dari mana awal mulanya tiba-tiba kami membicarakan asuransi.

"Biarpun biaya kesehatan ditanggung asuransi, tetap saja yang namanya orang sakit itu enggak enak. Kita harus tetap bergantung sama Allah."

Menabung dan mempersiapkan masa depan bukan hal yang salah, hanya saja semua persiapan yang sudah kita lakukan jangan sampai mengurangi kadar kebergantungan kita kepada Allah SWT. Bukankah mudah bagi Allah SWT mengambil semua tabungan, deposito, dan asuransi yang sudah kita rencanakan jauh-jauh hari?

Ah, kalimat itu terasa menohok. Hampir semua orang tua menginginkan masa depan yang baik untuk anak-anaknya, mereka bekerja membanting tulang, menabung, membangun usaha, dan membuat asuransi demi makhluk mungil dengan tatapan mata yang bening. Terkadang anak-anak membuat kita sangat mencintai harta dan takut miskin.

Teringatlah olehku sebuah ayat Al-Qur'an, "Adapun dinding rumah adalah kepunyaan dua orang anak yatim di kota itu, dan di bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedang ayahnya adalah seorang yang shaleh, maka Tuhanmu menghendaki agar supaya mereka sampai kepada kedewasaannya dan mengeluarkan simpanannya itu sebagai rahmat dari Tuhanmu (Qs. Al-Kahfi : 82)."

Orang yang shaleh akan dijaga anak keturunannya. Adakah jaminan yang lebih baik dari jaminan yang diberikan Allah SWT?

Sejujurnya ada satu hal yang perlu kita takuti, yaitu meninggalkan anak keturunan yang lemah--lemah nilai agama dan moralnya. Sejatinya keshalehan kita, dan keshalehan merekalah yang akan mendatangkan penjagaan Allah SWT. Tak peduli berapa banyak harta yang kita tinggalkan.

sumber: Internet


Testimoni Buku: The Gong Travelling

Buku ini membuatku rindu untuk kembali berkelana. Menikmati gemericik air terjun Bantimurung, di Sulawesi Selatan. Melintasi jalanan lintas Sumatera di Bukit Barisan. Menelusuri Tana Toraja, atau sekedar duduk-duduk di warung kopi di sebuah kota kecil di Aceh. 

Menikmati mendaki kaki gunung di Papua yang dipandu oleh suku asli, lalu singgah ke perkampungan transmigrasi serta bermadikan air sungai di hutan Papua, atau menaiki kapal kecil menuju pulau di dekat pesisir pantai Losari.

Aku menghabiskan masa kecil dengan berpindah-pindah tempat. Dulu rumahku sangat dekat dengan pesisir pantai yang berbatasan langsung dengan Samudera Pasifik. Satu hal yang sangat aku nikmati dan syukuri. Melihat berbagai pemandangan, bertemu dengan orang-orang dengan latar belakang berbeda. Ayah yang menanamkan kecintaan menjelajah.

The Gong Travelling, membangkitkan memori itu. Rasanya ingin menjejakkan kaki kembali ke tempat-tempat yang belum pernah aku kunjungi. Sayang dulu belum memiliki ketertarikan untuk menulis dan mendokumentasikan semua perjalananku.

Buku ini cukup menghibur, dilengkapi dengan foto-foto perjalanan. Ada banyak hal yang dapat dipetik. Kisah-kisah perjalanan Gol A Gong saat singgah di beberapa negara di Asia membuat kusadar masih ada hal baik yang dimiliki negeri kita, Indonesia.


Penjara Itu Bernama Scizophrenia

Ada kisah menarik tentang penderita skizofrenia yang dimuat di Merdeka.com, sebut saja namanya Erwin. Erwin salah satu pasien skizofrenia. Awalnya dia tidak mau tidur karena takut mati, dan sering mendengar suara-suara bisikan perempuan dan laki-laki.    

“Sebenarnya mengantuk tapi ga mau tidur, takut mati. Itu selama seminggu. Ada juga bisikan perempuan, desahan dia. Kalau bisikan laki-laki, isinya ngajak berantem.”
    
Emosinya menjadi tidak stabil, sering merusak rumah tetangga dan menarik diri dari lingkungan. Saat ini Erwin sudah dinyatakan sembuh dan rutin berkonsultasi.
    
Mungkin kita pernah bertemu dengan orang seperti Erwin. Berdasarkan riset kesehatan dasar hasilnya menunjukkan satu hingga dua orang dari 1000 orang atau 1,7 per mil mengalami gangguan jiwa berat, termasuk skizofrenia. Biasanya gangguan jiwa ini kerap muncul pada rentang usia 15-25 tahun.
 
Skizofrenia merupakan gangguan kejiwaan berat yang menyebabkan penderitanya tidak mampu berpikir logis (waham). Penderita memiliki keyakinan yang salah yang tidak sesuai dengan kenyataan, misalnya merasa diri orang terkenal, artis, merasa menjadi nabi, dan lain-lain.
    
Mengalami halusinasi, mendengar suara-suara yang sebenarnya tidak ada. Dapat berupa bisikan, gumaman, suara binatang, teriakan, atau suara-suara lain. Terkadang mereka sulit untuk mengontrol emosi dan sering marah-marah tanpa sebab yang jelas.
 
Gejala lainnya paranoid, selalu menaruh kecurigaan pada lingkungan sekitar. Perhatiannya tumpul, tidak bisa fokus, juga menarik diri dari lingkungan sosial, tidak mau bersosialisasi. Mereka kehilangan kemampuan untuk menikmati hidup. Semua gejala itu sifatnya menetap.
 
Bisa dikatakan gangguan kejiwaan ini melumpuhkan penderitanya, mereka tidak mampu menjalani kehidupan dengan baik. Dukungan keluarga ODS (Orang Dengan Skizofrenia) sangat penting, salah satu titik penting dalam mengobati ODS adalah penerimaan keluarga dan mulai membawanya berobat. Dukungan teman dan keluarga dapat memotivasi pasien agar mau rutin berobat, mereka juga sangat membantu dalam mengenali gejala kekambuhan sehingga bisa lebih cepat ditangani.
 
Skizofrenia dapat disembuhkan, dalam sebuah wawancara yang dikutip dari perspektifbaru.com, Bagus Utomo, Pendiri Komunitas Peduli Skizofrenia Indonesia mengatakan, “Bisa sembuh, tapi sembuhnya bukan seperti demam berdarah yang kalau sudah sembuh tidak minum obat lagi. Di sini harus ada level maintenance dengan dosis yang paling kecil dan paling cocok dengan dia.”


sumber gambar:
thewannabescientist.com

Warga Gaza Cinta Al-Qur'an

Oleh: Ustazah Nurjannah Hulwani

     Ismail Haniyya, beliau selalu menjadi garda terdepan menjadi aktivis mukhoyyam Al-Qur'an. Menterinya, anak-anaknya, rakyatnya, mereka itu cinta Al-Qur'an sampai semuanya dikelola oleh departeman agama di Gaza. Dan yang membuat saya tidak mampu menahan air mata itu ketika saya mendatangi majelis tahfidz Al-Qur'an ada seorang ibu yang bernama Fatiya Gatos, usia 57 tahun, buta huruf, mulai menghapal Al-Qur'an di usia 50 tahun. Di usia 56 tahun hapal 30 juz Al-Qur'an.

     Satu lagi seorang wanita Palestina, usianya 50 tahun, koordinator 16 TPA. Saking semangatnya dia menjumpai saya dengan tergopoh-gopoh, dia katakan, "Bu Nurjannah, Alhamdulillah saya sudah hapal 25 Juz. Sebentar lagi saya akan hapal 5 Juz dan awal bulan saya akan diwisuda."

     Jadi obrolan sehari-hari kita sangat terkait dengan apa yang ada di hati dan di kepala. Kalau cintanya dengan kekuasaan pembicaraannya tentang kekuasaan. Kalau cintanya materi, dia akan bicara soal materi. Pada saat itu saya bisa tersenyum, tapi setiba di penginapan air mata saya terkuras deras. Saya ingin mengatakan kalau Allah mengijinkan saya kembali, maka tempat yang pertama kali saya datangi adalah lembaga tahfidz Al-Qur'an.

     Pada saat itu saya hanya takut kematian. Saya meminta untuk dipanjangkan usia oleh Allah SWT, agar sepulang ke Indonesia saya bisa memperbaiki hubungan dengan Allah, dengan Al-Qur'an. Bagaimana mungkin kita mengatakan kita mencintai Al-Qur'an? Bagaimana mungkin kita menjadikan Al-Qur'an sebagai teman sejati kita? Jika ingin menjadikan Al-Qur'an sebagai teman sejati, kita harus sering bersilaturahim dengan Al-Qur'an. Membacanya, memperbaiki bacaannya, memahami isinya.

     Saya ingin menceritakan kepada ikhwan dan akhwatfillah, peristiwa di Rab'ah. Para alumni Rab'ah yang saya wawancarai, rata-rata yang menjemput kesyahidan adalah mereka yang hapal 30 juz Al-Qur'an. Selain aktivitas mereka di masyarakat dikenal. Asma Baltaji, anak pemimpin kita, DR. Baltaji. Dia menjemput kesyahidan di usia 17 tahun bukan hanya hapal 30 juz Al-Qur'an tapi juga hapal tafsir 30 juz Al-Qur'an.

     Di Palestina menjadi hafidz Al-Qur'an itu bukan berada di zona aman. Hafidz Al-Qur'an harus berbanding lurus dengan kontribusi dakwahnya. Hamas orang yang paling sholeh diantara penduduk Gaza. Dia hapal 30 juz Al-Qur'an, hapal hadits Arbain, dan tidak pernah meninggalkan salat berjama'ah di masjid. Dan kenapa wajahnya selalu ditutup untuk menjaga kelurusan niatnya. Agar mereka berjuang benar-benar karena Allah, bukan untuk disebut pahlawan.

     Dan menariknya orang-orang di Gaza bukan hanya hapal Al-Qur'an. Mereka orang yang berpendidikan, S1 sudah pasti. S2 dan S3 banyak di Gaza. Saya tidak tahu darimana mereka belajar.

    Cinta mereka kepada Al-qur'an itu memang luar biasa. Secara acak saya masuk ke PAUD, usia 2,5 tahun dengan lantangnya membaca surah Ar-rahman. Di jalanan kita acak, mereka membaca yang paling panjang.

    Menjelang kepulangan saya, ada anak-anak yang dibawa oleh seorang wanita Palestina. Usia 10 dan 8 tahun. Selama dua jam mereka menemani saya dengan memamerkan hapalannya. Bukan untuk riya, mereka hanya ingin menunjukkan betapa mencintai Al-Qur'an. Setelah bosan dia bernyanyi nasyid, setelah bosan dia berpuisi. Isinya tidak jauh dari cinta Al-Qur'an, cinta Al-Aqsha, dan cinta syahid fii sabilillah.

    Anak-anak itu menulis:

   Kami ingin bilang kepada anak-anak Indonesia, hapalkanlah Al-Qur'an, pelajarilah manhajnya!

   Agar kalian bisa datang ke Gaza dan bersama-sama dengan kami membebaskan masjid kita, Masjid Al-Aqsha.

   Salam kami untuk kamu semua, anak Indonesia.

   Salamku untuk anak-anak Indonesia, dan aku memohon doa dari kalian semua untuk kemenangan pembebasan Al-Quds dari rampasan Zionis yahudi.


sumber gambar: internet

Kata Si Togar

Siang itu ada yang beda dengan suasana di lapangan belakang SMA Kacrut.
 
Satu geng cewek tengah bergerombol dengan tampang siap perang. Sementara di tengahnya ada seorang cewek yang lagi ketakutan.
Sariyem dan Ponirah diam-diam mengintip dari gang dekat lapangan. Mereka berbisik-bisik.
 
"Duh! Bakalan perang lagi nih Rah. Kasian tuh anak mau dikeroyok."
 
"Iya nih, eike rekam aja deh di HP biar pada kapok!" Sariyem geram.
 
Enggak beda lama  geng mereka mulai mengejek, lalu creambath-creambathan--jambak-jambakkan maksudnya.
 
Cakar sana, cakar sini. Sampai mukanya coreng-moreng. Setelah puas merekam Sariyem dan Ponirah ngibrit secepat jet coaster di Dufan.
 
"Istirahat dulu yuk!" Ponirah ngos-ngosan. Dia ngajak mampir ke warung baksonya Bang Togar.
 
"Ee...kenapa kalian pada ngos-ngosan? Abis dikejar tukang tagih utang ya?" celetuk Bang Togar dengan logat Batak yang asli kental banget.
 
"Ah! Bisa aja Bang, kita abis jadi saksi mata peristiwa penting nih!" Sariyem sok-sokan jadi detektif.
 
"Peristiwa apa pula yang kau maksud?" Bang Togar makin penasaran.
 
"Sebelum kita tunjukkin, pesen baksonya dua porsi ya Bang!"
 
Bang Togar nurut aja sama duo centil itu. Padahal tampangnya sangar, rambutnya gondrong dikuncir dua, ada gambar tato Cherrybel di lengannya.
 
Katanya sih dia mantan napi dan udah tobat. Sekarang kerjaannya jualan bakso.
 
Enggak beda lama dua mangkok bakso tersaji di depan Ponirah dan Sariyem.
 
Sontak Sariyem gagal fokus, perutnya langsung dangdutan mencium aroma bakso yang aduhai.
 
Ponirah juga langsung menyerbu bakso yang imut-imut itu. HP yang sedang memutar video rekaman kejadian tadi dia biarin ngegeletak di meja.
 
"Hmm..." Bang Togar manggut-manggut sambil mengintip video di HP Sariyem.
 
"Mau kau apakan video itu?" Telunjuk Bang Togar yang segede pisang kepok menunjuk HP Sariyem.
 
"Ini bukti penting, Bang! Eike dan Ponirah mau ngelaporin kelakuan mereka ke guru." Hidung Sariyem kembang-kempis, kayaknya dia bangga banget bisa dapetin bukti itu.
 
"Oh... itu namanya bullying! Macam mana anak baru gede udah bisa bullying?" Bang Togar geleng-geleng. Kunciran rambutnya sampai kena muka Ponirah.
 
Jelas aja Ponirah manyun, acara makannya terganggu wangi minyak rambutnya Bang Togar.
 
"Abang keren juga tau kata bullying," kata Ponirah sambil manyun.
 
"Ee... jangan salah! Dulu waktu di lapas abang pernah berobat sama psikolog!"
 
"Yah... Bang, berobat sama psikolog kok bangga?" Sariyem ikutan nimbrung.
 
"Paling enggak abang kecipratan ilmunya laahhh!"
 
"Emang bullying apaan Bang?" Ponirah penasaran.
 
"Bullying itu kalau kau sakiti orang, misalnya mengejek, memukul atau mengucilkan." Bang Togar tiba-tiba jadi serius.
 
"Mmm... pantes ada lagu judulnya sakitnya tuh di sini." Sariyem asal celetuk.
 
"Apa hubungannya Yem?" Ponirah rada-rada kesel. Sariyem cuma cengar-cengir.
 
Hari mulai sore. Matahari udah mulai sembunyi malu-malu. Bakso di mangkok duo centil udah ludes. Mereka masih asyik ngobrol sama Bang Togar.
 
"Kalo kalian liat temen dibully, setelah kejadian kalian ajak ngomong lah pelaku dan si korban. Jangan malah ikut-ikutan nge-bully korban. Kalo udah parah lapor aja ke sekolah." Bang Togar jadi ikut geram.
 
"Iya Bang, mereka udah dibilangin cuma enggak ngaruh. Nih mau minta tolong sama guru."
 
"Nah, bagus itu!"
 
Berhubung duo centil harus pulang. Mereka siap-siap bayar bakso.
 
"Rah! Dompet eike ilang!" Sariyem panik.
 
"Jangan-jangan jatoh waktu kita lari. Aku juga ga bawa duit."
Bang Togar mencium gelagat, kayaknya duo centil bakalan ngutang.
 
"Berhubung abang lagi baik, abang punya tebak-tebakkan. Kalo kalian bisa jawab enggak usah ngutang."
 
"Apa tuh Bang?"
 
"Bully, bully apa yang bikin abang seneng banget?"
 
Duo centil bengong, celingak-celinguk. Terus geleng-geleng kompak.
 
"Bully yang bikin abang seneng itu... 'Bang bully baksonya semangkok!' Akakakak." Bang Togar ngakak puas banget. Sampai urat lehernya nongol.
 
Sementara itu duo centil cuma garuk-garuk kepala.

sumber gambar: internet

Testimoni Buku: R4BIA 55 Kisah di Balik Tragedi Rabia

Bagaimana mungkin tidak jatuh cinta dengan Mesir?

Dia adalah Said,usianya belum genap 15 tahun. Di usia 5 tahun, Said sudah menuntaskan hapalannya, 30 juz Al-Qur'an. Said, saat membaca kisah hidupmu aku berlinangan air mata. Apa yang kamu lakukan di tengah desingan peluru di Maidan Rabiah Al-Adawiyah?

Di belahan bumi lain anak-anak seusiamu tenggelam dalam kelalaian. Mereka duduk-duduk seharian penuh di pusat perbelanjaan, mendengar musik hingga lupa diri, atau mungkin sedang asyik masyuk berpacaran. Tapi tidak dengan dirimu, kamu punya cita-cita yang tinggi.

Saat terdesak dalam pengepungan dengan gagah berani kamu menghubungi ayahmu, "Sudah ada korban syahid 300 orang doakan aku agar menjadi yang ke 301."

Ayahmu menuliskan kisah hidupmu, menjadi pelajaran bagi kami. Kamu menghembuskan nafas terakhir dalam keadaan beristighfar dan berzikir, ketika salat Ashar di Maidan di samping Al-Manassah, peluru-peluru tajam dimuntahkan hingga perkemahan di sekitarmu terbakar habis. Saat itulah kamu terkena peluru. Tak lama setelah kematianmu seorang sahabat, bermimpi melihatmu bermain di taman surga.

Aku sudah terlanjur jatuh cinta. Bagaimana tidak?

Habibah, dia seusiaku. Seorang wartawati yang ditugaskan meliput peristiwa tragis di Rabiah Al-Adawiyah. Dengan gagah berani kamu panggul kamera merekam semua peristiwa di Rabiah Al-Adawiyah. Orang-orang lari tunggang langgang, tapi tidak dengan dirimu dengan langkah mantap kamu maju mendekati pasukan. Rupanya kamu ingin seluruh dunia tahu apa yang sebenarnya terjadi. Orang-orang disekitarmu berteriak memberitahu, "Kembali-kembali!"

Tapi tak ada kata kembali di hatimu saat itu. Sebuah peluru menembus jantungmu hingga ke punggung.

Sebelum kematianmu. Teman-temanmu berkata,"Kemarilah, berbuka puasalah dulu bersama kami."

"Apa ada yang bisa saya makan?" tanyamu.

"Masih tersisa sedikit."

"Tak apa, aku akan melanjutkan buka puasaku di surga."

Saudaraku, kalian telah berhasil mencuri hatiku. Sungguh sudah tak terhitung berapa kali aku jatuh cinta pada kalian. Saudara muslimku di Gaza, Mesir, Suriah, Afrika Tengah, dan di belahan bumi manapun. Aku belajar makna ketangguhan dari kalian.

Iran di Mata DR. Aidh bin Abdullah Al-Qarni

DR. Aidh bin Abdullah Al-Qarni, salah satu penulis favoritku. Buku-bukunya cukup banyak mempengaruhi caraku memandang kehidupan. Pertama kali berkenalan dengan karyanya yang berjudul La Tahzan, sejak saat itu aku terus mengikuti dan membaca tulisan-tulisannya. Buku-buku karyanya telah diterbitkan di berbagai negara dan diterjemahkan dalam berbagai bahasa.

Dia penulis yang masih menghapal Al-qur'an, hapal 5000 hadist, kitab Bulughul Maram, dan 10.000 syair klasik Arab. Selain itu, pria yang menamatkan program doktor di Universitas Islam Imam Muhammad bin Su`ud, Riyadh, Arab Saudi juga aktif berdakwah.

Beberapa hari lalu aku membuka lemari buku, dan tidak sengaja menemukan buku yang sudah lama kubeli. Buku itu berjudul Berteduhlah di Taman Hati, karya DR. Aidh bin Abdullah Al-Qarni. Setelah membacanya kembali ada tulisan singkat yang menarik perhatian. 

Tulisan tentang kesan penulis saat berkunjung ke Iran. Kali ini aku akan mengutip tulisannya tanpa mengurangi, menambah, dan mengubahnya sedikit pun. Semoga tulisan ini bermanfaat bagi orang yang membacanya.

Saat Berkunjung ke Iran

Bersama beberapa mahasiswa aku berkunjung ke negeri Iran. Perjalanan di mulai dari Jeddah, lalu Damam, kemudian Bahrain, dan sampai di Teheran. Semula, sebelum tiba, aku membayangkan negeri ini merupakan negeri yang tertutup rapat setelah terjadinya revolusi Khomeini yang menggulingkan rezim diktator.

Kami tiba di bandara dan melihat semua wanita menggunakan jilbab, mereka begitu giat beraktivitas dengan kegiatan yang terus-menerus. Kami disambut seseorang yang sudah kami kenal. Ia sengaja mengorbankan waktunya untuk menyambut kami.

Kami berjalan di sejumlah jalan-jalan Teheran, semua yang kami lihat adalah orang-orang Iran. Pabrik, perkebunan,, tempat tekstil. Semuanya dikelola oleh orang-orang Iran. Makanan mereka, minuman mereka, perabotan mereka, bangunan mereka, gedung mereka, mobil mereka, kayu mereka, semua fasilitas mereka adalah produk mereka sendiri.

Mereka tidak mengimport apapun dari luar negeri. Daging, susu, sayuran, buah, biji-bijian, semua dilakukan oleh tangan orang Iran sendiri. Tak satu pun kecuali orang Iran yang membuat gelas, meja, pakaian. Semuanya bermerk simbol Iran, terdapat sampai pada pena, buku, tas, atau bahkan pada tempat air.

Rakyat semuanya bekerja laki-laki maupun perempuan. Dunia di Iran dunia yang penuh hiruk-pikuk, aktifitas di pabrik, di laboraturium, di pasar, di perkebunan. Aktif, dinamis, produktif, konstruktif. Padahal Iran adalah tetap negeri yang tertutup.

Aku takjub di Iran terhadap tiga hal, tapi aku juga gelisah karena tiga hal. Aku takjub dengan produktivitasnya. Aku takjub dengan kelembutan dan kebaikan orang-orangnya. Aku takjub dengan komitmen mereka pada persatuan.Tapi aku risau dengan tiga hal.

Aku tidak melihat masjid-masjid yang berdiri di atas prinsip takwa dan keridhaan pada Allah. Aku melihat semua berbau "Husain". Aku melihat sebuah tempat shalat dengan batu yang diletakkan di tempat mereka shalat dengan keyakinan batu itu berasal dari tanah Karbala. Apakah ada dalil syar'i yang shahih tentang hal itu?

Kedua, aku juga risau karena aku tidak mendengar sama sekali ucapan ridha kepada para sahabat yang banyak dedikasinya untuk agama ini. Mengapa mereka tidak mengatakan keridhaan itu? Dan mengapa tidak terucap do'a untuk para sahabat Rasulullah SAW? bukan hanya itu saja, justru yang kudengar cacian, makian, penghinaan yang ditutupi oleh taqiyah dan basa-basi.

Ketiga, di Iran aku risau karena tidak melihat kitab-kitab karya para ulama Islam besar, seperti Imam mahzab yang empat, Imam ibnu Taimiyyah, Imam Bukhari, Imam Muslim, kitab-kitab sunan dan turats yang bermanfaat. Apakah ada kebaikan bagiku bila tidak ada kumpulan ilmu itu?

Aku menyampaikan tiga pertanyaan pada penduduk Iran. Kapan kami mendengar dari kalian doa keridhaan pada Abu Bakar, Umar, dan sisa sahabat generasi awal yang agung itu, lalu berhenti dari mencaci maki mereka? Kedua, kapan kami melihat simbol-simbol agama Islam yang memang ada di masa Rasulullah SAW dan para sahabatnya secara terang-terangan di masjid. Ketiga, kapankah kami melihat kitab-kitab para ulama muncul tanpa pengurangan dan tanpa penghapusan.


doktor di Universitas Islam Imam Muhammad bin Su`ud, Riyadh, Arab Saudi Copy and WIN : http://ow.ly/KfYkt

Copy and WIN : http://ow.ly/KfYkt
doktor di Universitas Islam Imam Muhammad bin Su`ud, Riyadh, Arab Saudi Copy and WIN : http://ow.ly/KfYkt

Copy and WIN : http://ow.ly/KfYkt
doktor di Universitas Islam Imam Muhammad bin Su`ud, Riyadh, Arab Saudi Copy and WIN : http://ow.ly/KfYkt

Copy and WIN : http://ow.ly/KfYkt

Bikin Nonfiksimu Seseru Komik

Sobat siapa bilang tulisan nonfiksi itu membosankan? Kamu bisa membuat tulisan nonfiksi yang asyik untuk dibaca dari awal hingga akhir. Kalau kamu jago mengolahnya, tulisan nonfiksi enggak kalah seru dibandingkan komik. Yuk, kita coba cara sederhana di bawah ini!

1. Bikin judul yang oke punya

Seperti biasa, semua tulisan pasti diawali dari judul. Kesan pertama tulisanmu terlihat dari judulnya, judul yang keren bikin pembaca melirik tulisanmu. Hal yang perlu diingat, judul yang ditulis jangan terlalu panjang tapi juga jangan terlalu pendek.

Siapkan beberapa alternatif judul untuk satu tulisanmu, supaya kamu bisa menyeleksinya kira-kira judul mana yang paling menarik dan memiliki potensi untuk disebarkan oleh pembaca secara viral. Biasanya judul yang mengandung angka, mengandung kata "Inilah", judul yang unik, atau mengaduk-aduk emosi pembaca, memiliki potensi lebih besar ketimbang judul yang datar-datar saja.

2. Sepenuh hati saat membuat tulisan

Lakukan yang terbaik dengan tulisanmu, kesungguhan seorang penulis terlihat dari karyanya. Pembaca bisa merasakan saat kamu menulisnya dengan malas-malasan atau saat kamu menulisnya dengan penuh semangat. Ingat sob, menulis itu aktivitas transfer energi. Jadi usahakan saat akan membuat tulisan kamu dalam keadaan siap berbagi energi.

Enggak percaya? coba kamu baca buku-buku karya ulama Islam terdahulu. Tulisan mereka terasa sangat hidup, menyentuh dan membangkitkan. Jawabannya jelas karena mereka memiliki energi spiritual dan ketaatan yang baik kepada Allah SWT, dan energi itu tersalurkan kepada pembacanya.

3. Bikin tulisanmu mengalir 

Jadi inget nih! Dulu pernah membaca di FP seorang penulis ternama. Dia bercerita ada seseorang yang protes, kenapa buku karyanya tidak diloloskan penerbit padahal buku karya penulis pemula-yang menurutnya biasa aja, justru diterbitkan dan ternyata penjualannya cukup bagus di toko buku.

Penulis ternama itu hanya menyuruhnya membaca buku karya penulis pemula yang dicibirnya. Setelah membaca barulah dia menyadari, karya penulis pemula itu ditulis dengan gaya bahasa yang mengalir. Seakan-akan dia berbicara langsung dengan pembacanya.

Karya penulis pemula itu memang sederhana, mudah dimengerti, dan pembaca suka itu. Dibandingkan dengan tulisannya yang memasukkan banyak kutipan serta data-data ilmiah. Enggak salah sih kalau kamu mau memasukkan data-data ilmiah ke dalam tulisanmu, yang penting dikemas dengan cara yang cantik sehingga tidak terkesan menggurui dan membosankan.
 
Gunakan istilah yang gampang dipahami oleh pembaca. Jangan berlebihan menggunakan istilah-istilah asing, enggak disebut keren saat kamu menggunakan kata Oryza Sativa untuk menyebut padi, dan Homo Sapiens untuk menyebut manusia, kecuali kamu sedang menulis buku pelajaran biologi.

Gaya bahasa yang berputar-putar enggak jelas intinya dan banyak pengulangan kata juga bisa membuat pembacamu mengibarkan bendera putih. Mereka bakal menyerah di tengah jalan, dan membiarkan tulisanmu tergeletak begitu saja.

4. Jangan lupa efek "wow"

Jika ingin pembaca bertahan dengan tulisanmu sebarkan harta karun di dalamnya. Apa harta karun itu? hal-hal baru yang belum diketahui oleh pembaca. Sehingga saat membaca tulisanmu mereka berkata di dalam hati, "Oh... ternyata begitu, baru tau nih!"

Itulah yang disebut efek "wow". Efek ini akan meninggalkan bekas di hati pembaca, dan jika mereka suka, mereka akan membagikan tulisanmu di dunia maya, atau mempromosikan bukumu-jika ditulis dalam bentuk buku.

5. Buat tulisanmu lebih berisi

Sobat, tiba-tiba jadi ingat dengan peristiwa beberapa hari yang lalu. Waktu itu aku hadir dalam sebuah seminar, salah satu pembicaranya Adriyan Fitra. Dia ahli di bidang penjualan online. Ada kalimatnya yang masih kuingat "Orang yang punya masalah akan mencari jawabannya di google, sementara orang yang kesepian akan membuka jejaring sosial."

Jadi kalau kamu membuat tulisan nonfiksi-baik yang dipajang di google atau dicetak dalam bentuk buku, usahakan tulisanmu mampu menjawab pertanyaan pembaca dan memberi solusi atas masalah yang sedang mereka hadapi. Tingkat kepuasan pembaca tergantung dari terpenuhi atau tidaknya kebutuhan mereka. Itu sebabnya penting bagimu untuk mengumpulkan bahan-bahan dengan banyak membaca agar tulisan nonfiksimu lebih berisi.

6. Mengaduk-aduk emosi

Kamu pernah baca enggak buku Catatan Hati Seorang Istri-nya Asma Nadia? Buku itu termasuk salah satu buku nonfiksi best seller. Isinya mengaduk-aduk perasaan, terutama untuk kalangan ibu-ibu rumah tangga.

Bagaimana dengan buku kocaknya Dedi Padiku? Perutmu bisa kejang-kejang akibat ketawa saat membacanya.

Nah, tulisan nonfiksi yang mampu mengaduk emosi itu disukai oleh pembaca. Jadi kalau tulisan nonfiksimu yang melow bisa membuat pembaca menangis, atau tulisanmu yang kocak membuat pembaca ketawa guling-guling, tandanya kamu sudah berhasil menuliskannya.

Oke deh sob, apalah guna teori tanpa praktek? Jadi setelah membaca tulisan ini jangan lupa dipraktekkan.

sumber gambar: Internet


6 Kesalahan Orang Tua Tentang Pendidikan Seks

Anak-anak makhluk yang tercipta dengan sempurna. Mereka memiliki banyak potensi dan kecenderungan, termasuk kecenderungan seksual. Biasanya kecenderungan seksual akan muncul pada usia-usia tertentu, anak-anak mulai memiliki ketertarikan dengan lawan jenisnya.
           
Setelah anak mencapai usia kematangan seksual, yang ditandai dengan mimpi basah pada anak laki-laki dan menstruasi pada anak perempuan, mereka telah memiliki kemampuan reproduksi. Pada usia ini anak-anak sudah dianggap dewasa dan akan dimintai pertanggungjawaban atas semua perbuatannya.
           
Orang tua berkewajiban untuk mendidik dan mengarahkan kecenderungan seksual mereka sejak dini, agar anak-anak dapat berkembang dengan baik, terhindar dari perilaku seks beresiko, atau dari penyimpangan seksual.
           
Hanya saja ada beberapa hal yang seringkali dilupakan orang tua terkait pendidikan seks anak-anak. Berikut kesalahan-kesalahan itu: 

1.      Tidak membiasakan anak meminta izin saat memasuki kamar orangtua

Anak-anak, terutama anak usia dini, terbiasa berlari-lari dan menjelajah ke seluruh ruangan di dalam rumah. Membiasakan mereka untuk meminta izin saat memasuki kamar orang tua memang bukan hal yang mudah, dibutuhkan kesabaran, mengingatkan terus-menerus hingga anak terbiasa.

Pada anak usia dini, sebaiknya diajarkan untuk meminta izin pada waktu-waktu tertentu ketika kedua orang tua biasa beristirahat di dalam kamar. Misalnya pada waktu sebelum subuh, saat orangtua tidur siang, atau setelah isya.

Sedangkan untuk anak yang sudah mencapai usia kematangan seksual dibiasakan untuk meminta izin setiap saat akan memasuki kamar orang tua.

Tujuannya agar anak tidak masuk kamar dengan tiba-tiba dan melihat kedua orang tua dalam keadaan yang tidak pantas untuk dilihat. Pemandangan yang tidak sengaja terlihat itu dapat merusak jiwa anak-anak.

2.     Tidak mencegah anak dari rangsangan seksual

Di era serba digital, rangsangan seksual datang dari berbagai arah. Televisi, internet, ponsel pintar, bahkan video game tidak sepenuhnya aman, orang tua perlu mendampingi mereka.

Tetapkan aturan bersama tentang apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan saat berinteraksi dengan kecanggihan teknologi. Berdasarkan data dari Kemenkominfo fakta mengejutkan terungkap, saat ini Indonesia menduduki peringkat pertama negara pengakses video porno.

Menurut psikolog Baby Jim Aditya, sebanyak 68% siswa SD sudah pernah mengakses situs porno.

Anak-anak yang terpapar gambar atau video yang mengandung unsur seksual berpotensi kecanduan. Mereka akan terus mencari kepuasan dengan melihat gambar dan situs porno, jika dibiarkan terus-menerus bukan tidak mungkin anak-anak mencari pelampiasan dengan cara yang salah, dan menggiring mereka ke perilaku seks beresiko hingga kelainan seksual.

Sangat penting bagi orang tua untuk selektif memilih tontonan yang sesuai dengan usia mereka.

3.      Tidak memisahkan tempat tidur anak

Jika memiliki lebih dari satu orang anak, orang tua perlu mempertimbangkan untuk menyediakan kamar bagi masing-masing anak. Jika tidak memungkinkan, sebisa mungkin memisahkan tempat tidurnya.

Pemisahan tempat tidur dapat dilakukan saat anak memasuki usia tujuh tahun, pada usia ini kecenderungan seksual mulai tumbuh. Jangan biarkan anak tidur di satu kasur dan satu selimut, kondisi ini dapat mempercepat tumbuhnya naluri seksual mereka.

4.      Membiarkan anak tidak menjaga pandangan dan memakai pakaian yang terbuka

Mata merupakan jendela yang menghubungkan anak dengan dunia luar. Anak-anak perlu mendapat bimbingan dari orang tuanya tentang apa yang boleh dilihat dan apa yang tidak boleh dilihat. Baik di dalam atau di luar rumah.

Jika memiliki anak laki-laki dan perempuan, mereka perlu diajarkan tentang batasan bagian anggota tubuh mana yang boleh terlihat. Saat di dalam maupun di luar rumah.

Bagi anak laki-laki, memakai pakaian yang menutupi tubuh terutama antara pusar hingga lutut.
Jika di dalam rumah hanya berisi keluarga inti-orangtua dan saudara kandung, anak perempuan boleh memakai pakaian yang memperlihatkan bagian tubuh yang biasa tampak, misalnya rambut, leher, tangan, dan kaki.

Anak-anak perempuan saat berada di dalam rumah sekalipun sebaiknya tidak memakai pakaian yang terbuka, ketat, atau menerawang, yang memperlihatkan bagian tubuh yang biasanya tertutup, misalnya paha dan dada.

Tujuannya untuk menghindari timbulnya rangsangan seksual saudara kandungnya yang laki-laki-terutama saat mereka memasuki usia remaja, atau anggota keluarga lain.

Berdasarkan data dari Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA), jumlah kekerasan yang dialami anak pada tahun 2012 mengalami peningkatan. Beberapa kasus diantaranya merupakan kasus perkosaan yang dilakukan oleh orang yang memiliki hubungan darah (incest)-antara ayah dengan anak di bawah umur, kakak dengan adik, atau bahkan ibu dengan anak kandungnya sendiri. 

Kekerasan seksual yang dilakukan ayah kandung sebanyak 17 kasus. Kasus-kasus yang terdata mungkin lebih sedikit dibandingkan dengan kasus yang sebenarnya terjadi. Biasanya pada kasus incest hanya sedikit keluarga yang melaporkan, karena dianggap membuka aib.

5.      Tidak memberi tahu anak tentang tanda-tanda kematangan seksual 

Setelah anak memasuki usia yang diperkirakan akan matang secara seksual, orangtua perlu memberi bimbingan tentang tanda-tanda kematangan seksual mereka. Beberapa anak merasa segan menceritakan hal-hal yang terkait seksualitas kepada orangtuanya. 

Sebaiknya orangtua berperan aktif memberi pemahaman yang benar, agar anak lebih siap menghadapinya. Mereka juga perlu mengetahui tugas dan tanggung jawab yang harus mereka laksanakan setelah mencapai usia kematangan tersebut.

6.      Tidak memberi pemahaman tentang bahaya seks bebas

Seks bebas saat ini menjadi momok yang sangat menakutkan. Berdasarkan data yang dirilis oleh BKKBN, 46% remaja berusia 15-19 tahun sudah pernah berhubungan seksual.

Sebuah penelitian yang dilakukan Komnas PA terhadap perilaku seks di kalangan remaja SMP dan SMA, menunjukkan fakta yang juga mengejutkan, dari 4.726 responden, 97% mengaku pernah menonton video porno dan 93,7% mengaku sudah tidak perawan.

Orang tua memiliki peranan penting dalam menjaga anak-anaknya agar terhindar dari seks bebas, membentengi mereka dengan norma-norma agama dan sosial, memberi pemahaman akan bahaya seks bebas, menjalin hubungan yang hangat dengan anak, dan memantau pergaulan mereka bisa menjadi solusi agar anak tidak terjerumus perilaku seks bebas.

(Tulisan ini telah dimuat di www.kreasianaknegeri.com)

sumber gambar: internet

Si Jenius yang Dianggap Tanaman

“Apabila semua jalan terasa buntu oleh anda maka pikirkanlah janji yang ada dalam surat Al-Insyirah.”

(DR. ‘Aidh Abdullah Al-Qarni)   

   “Anak anda seperti tanaman.” Ucap dokter kala itu dihadapan Jhon. Jhon merah padam wajahnya, dia sangat geram. Sudah berminggu-minggu anaknya dirawat di rumah sakit dan menjalani serangkaian pemeriksaan yang melelahkan.   

     “Aku sudah menghabiskan banyak waktu dan tenaga hanya untuk mendengar kata-kata, ‘Anak anda seperti tanaman!’” Ia meninggalkan rumah sakit dengan memendam kekesalan dan membawa pulang anaknya. Di dalam hati kecilnya ia tetap percaya anak itu dapat tumbuh dengan baik.Jhon tidak mau menyerah, dia terus mencari jalan untuk mengobati anaknya. Hingga suatu hari dia datang ke tempat Glenn Doman, harapannya semakin besar.   

     Setiap hari istri Jhon selalu memotivasi anaknya. Dia mengajari kata demi kata dan menuntunnya membaca. Melalui perjuangan yang panjang dan usaha yang keras, perlahan-lahan anak itu bisa membaca. Jhon senang sekali, dia tak sabar ingin memberi tahu Glenn Doman tentang hal itu.  

     “Tahukah anda? Anakku dapat membaca!” Pekik Jhon kegirangan dengan mata berbinar-binar. Glenn Doman tidak menganggap serius ucapannya, dia masih belum percaya anak Jhon benar-benar bisa membaca.  

     Rupanya Jhon sangat ingin membuktikannya, dia menyodorkan sebuah buku ke hadapan anaknya. Anak itu mulai membaca baris demi baris kalimat, dia benar-benar bisa membaca. Glenn Doman takjub melihatnya, bahkan kemampuan membaca anak itu di atas rata-rata kemampuan membaca anak-anak normal seusianya. dia biasa membaca buku-buku yang tebal.  

     Sahabat, cerita di atas adalah cuplikan kisah yang ditulis dalam sebuah buku karya Glenn Doman tentang anak-anak yang mengalami cedera otak. Ada banyak hikmah yang dapat dipetik dari kisah tersebut, diantaranya semua berawal dari motivasi.  

    Ada sebaris kalimat dari buku itu yang masih kuingat, “Seorang ayah dapat menjadi terapis, tapi terapis tidak dapat menjadi seorang ayah.” Para orang tua anak spesial pasti lebih memahami makna kalimat ini. Peran orang tua terhadap tumbuh kembang ananda jauh lebih besar dari peran terapis.  

    Teringat olehku kisah perjuangan bunda Noni Fadhilah, orang tua anak Down syndrom. Dia ikuti juga anjuran dokter, untuk melilitkan kain kasa di telunjuk, dimasukkan ke langit-langit mulut Zeina, anaknya, lantas menekannya perlahan seperti sedang memijat. Lalu meputar-putarkan hingga lidah Zeina mengikuti jarinya.   

    Sulit memulainya, tapi dia lakukan terus. Ternyata membawa hasil, lidah Zeina tidak terjulur dan dia dapat mengatupkan mulut saat umur 1 tahun. Di rumah, dia pasang cermin di dinding agar Zeina dapat melihat dirinya dan melihat bunda Noni berkata dengan mulut yang jelas sesuai huruf yang dikeluarkan.       

     Dia melakukannya terus menerus dan berulang-ulang, sembari memotivasi diri dan anaknya. Saat ini Zeina dapat bicara dan hidup mandiri. Mungkin jika bunda Noni Fadhilah berhenti memotivasi diri, ceritanya akan berbeda.

Sumber gambar: Internet

Cerita dari Bosnia

       Saya pernah dikirim ke Bosnia, saat itu dalam kondisi perang. Saya dikirim ke sana bukan untuk berperang, tapi bertugas menangani anak-anak pengungsian di Bosnia.

     Saat itu Bosnia memasuki musim dingin, salju menutup di mana-mana. Saya bertugas di salah satu pengungsian. Sampai pada suatu hari datang sepasang anak dengan pakaian seadanya, padahal saat itu musim dingin.

     Saat melihat mereka saya berpikir, sepasang anak kecil dengan pakaian seadanya di musim dingin datang ke tenda pengungsian pasti yang dicari adalah makanan, pasti mereka kelaparan. Dengan sangat polosnya saya segera menyediakan coklat untuk sepasang anak ini.

     Dengan sedikit bekal bahasa Bosnia saya katakan, “Ini coklatnya.” Tapi apa jawaban yang saya dapatkan, mereka mengatakan, “Terima kasih, tapi bukan ini yang kami cari. Kami membutuhkan al-qur’an, di pengungsian tidak ada al-qur’an.”

     Saya tanya kepada ustadz yang saat itu juga bertugas di sana, “Bagaimana anak itu bisa begini ustadz?”

     Jawab ustadz, “Itulah anak khusus.”

     Saya penasaran, seperti apa dan siapa kedua orang tuanya. Selama dua hari berturut-turut saya mencari dari satu pengungsian ke pengungsian lain. Sampai akhirnya saya menemukan bahwa ayahnya sudah syahid (InsyaAllah) dan ibunya juga sudah syahidah (InsyaAllah). Bagaimana bisa seorang anak kecil, di usianya yang baru belasan tahun dan kehilangan kedua orang tuanya tidak depresi.

     Bahkan dia justru menjadi sosok yang kuat dan memiliki kepemimpinan. Anak itu pemimpin anak-anak di pengungsiann. Saya mencari informasi tentang sosok ayahnya, ternyata ayahnya sering menceritakan kisah-kisah kepahlawanan muslim di depan anak-anaknya. Inilah yang membentuk mereka.

     Cerita di atas merupakan kisah nyata dari Bapak Irwan Rinaldi saat dikirim bertugas ke Bosnia. Kisah ini disampaikan dalam sebuah acara seminar parenting tentang pentingnya peranan ayah dalam membentuk karakter anak.

     Saya pernah melakukan survey terhadap 700 orang ayah.

     Pertanyaan pertama, apa yang sudah anda berikan untuk anak anda? Hampir semua jawabannya adalah, “Saya sudah bekerja siang dan malam untuk memberi nafkah, menyekolahkan anak saya dan memenuhi kebutuhannya.”

     Pertanyaan kedua, pernahkah anda mendengarkan bacaan al-qur’an anak anda dan mengajarkan mereka membaca al-qur’an? Jawabannya semakin sedikit yang melakukannya.

     Pertanyaan ketiga, pernahkan anda menceritakan tentang Rasulullah SAW dalam sekali seminggu pada anak anda? Jawabannya semakin sedikit lagi yang melakukannya.

     Bukanlah suatu kesalahan ayah mencari nafkah, namun tugas ayah tidak hanya mencari nafkah. Bagaimana bisa anak mencintai al-qur’an jika tidak pernah melihat ayahnya membaca dan mengamalkan al-qur’an? Bagaimana bisa anak mencintai Rasulullah SAW jika tidak mengenal sosoknya, karena ayahnya tidak pernah bercerita.

     Sahabat, seperti itulah penuturan darinya. Ada pelajaran yang bisa kita ambil, peran ayah tidak kalah pentingnya dengan peran ibu dalam mendidik anak. Diperlukan kekompakkan ayah dan ibu dalam mendidik anak.

Sumber gambar: Internet

Humaira, Gadis Cilik Suriah

          Humaira, gadis cilik berusia 12 tahun itu meringkuk ketakutan seraya memeluk Umar, adiknya yang masih berusia lima tahun. Mereka bersembunyi di dalam lemari di dapur rumahnya yang gelap tanpa listrik.

         “Kakak, aku takut sekali...” Umar berbisik pelan. Tubuhnya menggigil ketakutan dan ia mulai menangis.

         “Sst.. diamlah Umar, jangan menangis.” Ia membekap mulut Umar ,” Nanti kita bisa ketahuan.”

         Brak! Bug! Suara-suara keras pintu- pintu dibanting, diriingi derap langkah kaki bersepatu boot. Langkah-langkah berat itu semakin lama semakin mendekat. Mereka berdiri di depan lemari tempat Humaira bersembunyi. Humaira terus berdo’a di dalam hati,“Ya Allah, lindungilah kami dari kejahatan makhlukMu.”

         Mereka menyenter seluruh bagian ruangan. Prang! Piring-piring di dapur berjatuhan. Humaira, mengintip dari lubang kunci lemari di bawah wastafel tempat ibunya biasa mencuci. Mereka kira-kira berjumlah empat orang, lelaki berseragam militer dengan senapan laras panjang. Jantung Humaira berdetak keras, tangannya gemetaran dan keringat dingin membanjiri tubuh kurusnya. Sementara Umar, membenamkan wajahnya ke dada Humaira seraya memegangi celananya yang mulai basah karena air kencing.

         “Rumah ini kosong, ayo kita sisir rumah-rumah yang lain!” perintah pria bertubuh tinggi besar itu kepada anak buahnya.

         Humaira terduduk lemas di dalam lemari, sendi-sendi tubuhnya seakan tak kuat menopang. Ia berbisik pada Umar, “Kita sudah aman Umar, mereka sudah pergi.” Umar melepaskan tangisannya di pelukan Humaira.

         Kota Alepo, di bagian utara Suriah sudah seperti kota mati. Sejak peperangan dua tahun yang lalu. Rumah-rumah dan bangunan luluh lantak, rata dengan tanah. Laki-laki berseragam itu memang biasa menyisir rumah-rumah penduduk di Alepo.

         Ahmad, teman sekolah Humaira sudah tewas seminggu yang lalu. Seluruh keluarganya ditembaki membabi buta, mereka memuntahkan peluru-peluru tak tentu arah, merangsek ke dalam rumah dan mengetahui siapa saja anggota keluarganya, bahkan mereka hafal satu persatu namanya.



***

         Siang itu, matahari menyinari langit biru Alepo. Pakaian lusuh Humaira berkibar-kibar ditiup angin dari atas pohon. Sementara Umar duduk di bawah rimbunnya pohon seraya menantikan buah-buahan yang dipetik Humaira. Mereka memang biasa mengumpulkan makanan dari alam, belakangan ini sulit sekali mendapatkan makanan di Suriah. Jika beruntung mereka bisa makan buah-buahan atau kacang-kacangan, jika tidak, rumput, daun-daunan, dan segelas air pun sudah cukup menghilangkan lapar.

         Hening. Hanya terdengar tiupan angin dan gemersik daun. Tiba-tiba, Bum! Sebuah bom dijatuhkan dari pesawat tempur, memecah keheningan kota Alepo. Umar menjerit ketakutan. Mereka segera berlindung ke dalam Masjid.

         Bum! bangunan Masjid bergetar. Dengungan mesin-mesin tempur di udara bak ribuan lebah yang siap menyerang, semakin lama suaranya semakin keras, memekakkan telinga. Humaira berusaha melindungi Umar dari serpihan-serpihan bangunan Masjid yang mulai rontok. Mereka hanya bisa pasrah.

         Duar! Krak! Sebuah bom mengenai sisi kanan Masjid, Masjid itu runtuh dan menimpa tubuh mungil mereka. Nyeri dan sakit yang amat-sangat, Humaira berusaha bertahan, “Umar..Umar..” suaranya ibarat bisikan yang hilang di telan angin. Sunyi, tak ada jawaban, hanya terdengar rintihan-rintihan dari mulut mungil Umar. Mata Humaira mulai berkunang-kunang, redup semakin meredup dan gelap.



***

        “Humaira, Humaira,” sayup-sayup terdengar suara seseorang memanggil namanya. Ia masih belum sadar sepenuhnya. Tercium olehnya bau anyir darah dan obat antiseptik yang menusuk hidung. Derap-derap langkah kaki mondar-mandir di dalam ruangan diiringi erangan-erangan beberapa orang yang menahan sakit.

        “Humaira..” suara itu kembali memanggilnya. Humaira berusaha membuka matanya sedikit demi sedikit, dilihatnya orang berpakaian putih lalu lalang, pandangannya masih buram. Ia menengok ke kanan beberapa orang merintih kesakitan dengan balutan perban. Lalu ia menoleh ke sumber suara yang memanggil-manggil namanya. Ditatapnya seorang laki-laki paruh baya, berambut tebal dan bertubuh tinggi. Ternyata Ammuh Azzam, ia adalah teman baik ayah Humaira yang bekerja sebagai dokter.

         “Ammuh..”

         “Apa kau sudah sadar, nak?”

         “Ya, hanya saja lenganku sakit sekali.”

         “Tenanglah, jangan banyak bergerak.”

         “Bagaimana dengan Umar, ammuh?”

         “Umar baik-baik saja, hanya saja...”

         Ucapan Ammuh Azzam terhenti seraya menatap Humaira dengan tatapan iba.

         “Kuatkan hatimu nak..”

         “Ada apa ammuh?”

        “Adikmu harus diamputasi kaki kirinya, karena terkena serpihan bom.”

        Humaira terdiam, ada setitik bening di sudut matanya. Menahan perihnya luka hati, mengingat kondisi Umar yang kelak hanya memiliki satu kaki. Selama beberapa hari ke depan mereka harus menginap di rumah sakit, sampai semua luka-lukanya pulih kembali.



***

Seminggu kemudian

        “Ammuh, apa kami sudah boleh keluar dari rumah sakit?” tanya Humaira kepada Ammuh Azzam yang setiap pagi selalu rutin mengunjungi Umar dan Humaira.

        “Sudah bisa, di mana ibumu?” tanya Ammuh Azzam,” Pihak rumah sakit akan menghubunginya agar menjemput kalian.”

        “Ibu...sudah meninggal ammuh..” jawab Humaira, “ Sebulan yang lalu, ibu ditembak sniper saat pergi ke pasar.”

        “Sedangkan ayah...aku tidak tahu bagaimana nasibnya, sudah enam bulan lebih ayah tidak pulang ke rumah,” ada gurat kecemasan di wajah tirus Humaira.

        Ayah Humaira memang jarang pulang ke rumah, sejak peperangan meletus dua tahun yang lalu. Beberapa kali Humaira memergoki ayahnya membawa pulang lempengan-lempengan besi bekas tanki, cakram rem mobil, dan benda-benda rongsokan lainnya. Ia bekerja semalaman di bengkelnya. Ayah Humaira, seorang teknisi. Namun Humaira tak tahu secara pasti apa yang dikerjakan ayahnya malam itu.

       “Humaira, ayahmu masih hidup. Bergembiralah!” ucap Ammuh Azzam berusaha menghibur.

       “Benarkah, Ammuh?”

       “Ya, saat ini ia ada di tempat yang aman.”

       “Ammuh, tolong sampaikan padanya, kami sangat merindukannya...”

       “Insya Allah..” ucap Ammuh Azzam sambil mengangguk, “ Sekarang kemana kalian akan pergi?”

      “Entahlah Ammuh, rumah kami tak lagi aman. Beberapa waktu lalu beberapa orang berpakaian militer mendobrak masuk ke dalam rumah.”

      “Tinggallah di pengungsian, di sana lebih aman. Aku akan mengantarkan kalian ke pengungsian yang terdekat dengan Alepo, di Mandjeb.”

      “Baiklah ammuh..”

      Ammuh Azzam dan Humaira menggandeng Umar yang masih tampak canggung dengan kedua tongkatnya, kaki kecilnya tertatih-tatih. Mereka bertiga meninggalkan rumah sakit menuju ke Mandjeb.

Mandjeb, 20 November 2013

            Suriah memasuki musim dingin di bulan November, salju tebal dengan suhu di bawah 1 derajat celcius melanda seluruh penjuru Suriah, termasuk kamp pengungsian di wilayah Mandjeb. Tenda-tenda pengungsian di Mandjeb tak mampu menghadang dinginnya salju disertai angin musim dingin, tidak ada pemanas listrik karena di pengungsian tidak ada aliran listrik. Tidak semua pengungsi mendapatkan selimut tebal, sebagian mereka terpaksa menghangatkan tubuh menggunakan kain seadanya.

            Humaira duduk berdempet-dempetan dengan Umar untuk menghangatkan tubuh mereka, gigi mereka bergemeletuk dan tangan-tangannya pucat menahan dingin. Siang itu para relawan membawa kabar gembira, ada bantuan datang berupa selimut tebal. Anak-anak dan lansia mendapat prioritas lebih dulu untuk mendapatkan selimut tersebut. Tiba-tiba terdengar suara seorang relawan dari luar tenda.

            “Assalamualaikum, kami membawa beberapa lembar selimut. Adakah yang membutuhkan?”

Ammah Zubaidah keluar dari tenda mereka dan membagikan selimut-selimut tersebut kepada para penghuni tenda, satu tenda di pengungsian bisa di huni empat keluarga. Bagi Humaira dan Umar, Ammah Zubaidah sudah seperti ibu kandungnya sendiri. Ammah Zubaidahlah yang mengurus segala keperluan mereka selama di pengungsian.

             Hari demi hari di pengungsian di isi dengan aktivitas bermain, mereka menggambar dan mendengarkan dongeng dari para relawan. Itulah satu-satunya hiburan bagi mereka di tengah ganasnya peperangan. Ada seorang relawan dari Indonesia yang sangat disukai Umar, Ammuh Usman, demikian Umar biasa memanggilnya.

Di malam hari Umar biasa menyelinap ke tenda para relawan hanya untuk mendengarkan dongeng sebelum tidur dari Ammuh Usman. Mungkin Umar hanya rindu dengan ayahnya, ia memang terbiasa mendengarkan dongeng menjelang tidur dari ayahnya.

              “Ya Ammuh, ceritakan kepadaku dongeng yang lainnya,” pinta Umar seraya meletakkan tongkatnya dan duduk di samping Ammuh Usman yang sedang menuntaskan tilawah Al-qur’annya. Ammuh Usman merangkulnya dan mulai bercerita di tengah kelap-kelip lilin kecil. Hingga Umar tertidur.



***



Mandjeb, 29 November 2013

             Anak-anak bermain salju di depan tenda-tenda pengungsian, hari ini sedikit bersahabat. Matahari sedang bermurah hati membagikan cahayanya. Humaira dan Umar terbiasa bermain bersama anak-anak pengungsi yang lain. Terkadang mereka saling menimpuk dengan bola-bola salju.

            Tiba-tiba, Ammuh Usman memanggil Humaira dan Umar. Di sampingnya berdiri dua orang laki-laki, yaitu Ammuh Azzam dan seorang laki-laki dengan kaca matanya dan kulitnya yang putih.

            Humaira terperanjat,“Itu Ayah!” pekiknya kepada Umar. Humaira berlari berhamburan menuju ke pelukan Ammar, ayahnya. Sementara Umar tergopoh-gopoh mengayunkan tongkatnya di belakang Humaira. Rasanya seperti mimpi, Ammar memeluk anak-anaknya dan menangis hingga basahlah jenggotnya.

            Malam itu Ammar tidur di tenda pengungsian, mereka melepas rindu yang lama terpendam. Umar tertidur di pangkuan ayahnya, sangat pulas. Sementara Humaira lebih senang berbincang-bincang dengan ayahnya.

           “Ayah, ke mana saja Ayah selama ini?”

Ammar hanya tersenyum, sembari membelai lembut rambut Humaira. Lama ia menatap putrinya yang mulai beranjak dewasa. Mirip sekali ia dengan ibunya, Sarah.

          “Humaira, jagalah Umar. Ia anak yang halus hatinya.”

          “Aku akan menjaganya ayah...hanya dia dan ayah yang aku miliki.”

Ammar merogoh saku bajunya yang sudah kusam. Ia mengambil secarik kertas lecek dan menyerahkannya kepada Humaira.

          “Ini alamat Amirah, bibimu.” Ucap Ammar diselingi tiupan angin malam,” Saat ini ia tinggal di Yordania.”

          “Kalian pergilah ke sana,”Ammar memeluk erat Humaira seakan-akan itulah pertemuannya yang terakhir,”Esok  Ammuh Usman akan pulang ke negaranya. Ia akan melewati pintu perbatasan dengan Yordania.”

Humaira mendengarkan dengan seksama.

           “Ayah sudah memintanya untuk mengantarkan kalian ke tempat Ammah Amirah.”

          “Bukankah Ayah ikut dengan kami?”

          “Tidak, putriku. Masih ada yang harus Ayah lakukan di sini.”

          Humaira  mengatupkan bibirnya, bergetar. Air matanya bercucuran deras bak anak sungai, seakan-akan belum hilang kerinduan pada ayahnya. Esok hari ia harus berpisah kembali.



***

          Pagi itu Humaira dan Umar sudah bersiap untuk pergi ke Yordania. Umar memeluk erat-erat ayahnya seraya menangis terisak-isak. Mereka segera menaiki jeep para relawan.

          Dari kejauhan Umar melihat Ammar melambaikan tangan semakin lama semakin kecil. Tiba-tiba terdengarlah desingan peluru bersahutan-sahutan seperti suara petasan, di selingi pekikkan takbir membahana dari mulut Ammar. Ia terjerembab jatuh ke tanah. Ia tertembak tepat di lehernya. Merah darahnya mewarnai putihnya salju. Umar terkesiap menatap Humaira dengan kesedihan yang mendalam, “Ada sniper... Ayah..”

          Humaira hanya bisa memeluk dan membelai rambut pirang Umar, ia berbisik, “Inilah yang sudah dinantikan ayah dari dulu Umar... inilah alasan kenapa ayah tetap bertahan di Suriah...kuatkanlah hatimu.” Setetes demi setetes bening jatuh membasahi baju lusuh Humaira.

          Mobil jeep itu melaju dengan kecepatan penuh menuju pintu perbatasan dengan Yordania. Menghilang bersama angin musim dingin.

(Tulisan ini telah dimuat di www.dakwatuna.com)

sumber gambar: Internet

Cara Jitu Menghindari Begal

Akhir-akhir ini kita menjadi familiar dengan kata begal. Begal bermakna perampasan dengan disengaja. Biasanya mereka merampas harta benda korban dengan senjata yang melukai hingga membunuh korban.

Menurut kriminolog UI, Iqrak Sulhin, jumlah kasus pembegalan masih tergolong sedikit, hanya saja kualitas kejahatannya cukup mengkhawatirkan. Mereka tidak segan-segan membunuh korban.
 
Maraknya pemberitaan di media massa membuat sebagian masyarakat- terutama mereka yang harus pulang dan beraktivitas saat larut malam, menjadi cemas.           

Ada beberapa tips yang bisa kita coba untuk menghindari begal:  
 
1. Memilih jalan yang ramai dan terang
Banyak tindak kejahatan terjadi karena ada kesempatan. Tempat yang sepi dan gelap merupakan tempat yang sangat potensial terjadinya kejahatan. Jika kita terpaksa pulang larut malam usahakan untuk memilih jalan yang ramai dan terang. Tujuannya selain meminimalkan tindak kejahatan juga memudahkan kita meminta tolong jika menjadi korban kejahatan.

2. Hindari melewati rute jalan yang belum dihapal
Ada baiknya kita melakukan survey dan mencari informasi sebelum pergi ke sebuah wilayah yang belum pernah kita kunjungi. Selain memudahkan kita karena sudah mengetahui rutenya, kita bisa memlih alternatif jalan yang kira-kira aman untuk dilalui. Sebisa mungkin jangan melewati rute jalan yang belum kita hapal.
 
3. Tidak memakai barang mewah
Barang-barang mewah yang kita gunakan, misalnya perhiasan dan handphone. Bisa menjadi pemicu tindak kriminalitas. Saat berkendara sebaiknya jangan menggunakan barang berharga. Jika terpaksa harus membawanya simpanlah di dalam tas.
 
4. Memperhatikan lingkungan sekitar
Kewaspadaan menjadi hal yang penting, apalagi jika kita orang yang biasa pulang larut malam. Hampir semua kasus begal terjadi di malam hari. Perhatikan keadaan, jika ada hal-hal yang mencurigakan misalnya merasa dibuntuti, segera pergi ke kantor polisi terdekat.
 
5. Usahakan tidak sendirian saat berkendara
Jika memungkinkan, ajaklah teman saat berkendara di malam hari. Teman bisa membantu meminta tolong kepada orang-orang di sekitar tempat kejadian.
 
6. Memberitahu perjalanan ke keluarga atau rekan

Informasikan setiap kepergian kita kepada keluarga dan orang terdekat. Jika sewaktu-waktu terjadi hal yang tidak diinginkan, pihak keluarga bisa cepat bertindak melapor ke kantor polisi.





Sumber gambar: Internet



Focus Private

Les Privat

Les Privat Focus Private adalah lembaga pendidikan yang mengkhususkan diri sebagai spesialis les privat guru ke rumah untuk mata pelajaran eksakta yaitu Matematika, Fisika, dan Kimia. Info 082312091982
Diberdayakan oleh Blogger.

Popular Posts

Total Tayangan Halaman