Asuransi Terbaik di Dunia
Testimoni Buku: The Gong Travelling
Buku ini membuatku rindu untuk kembali berkelana. Menikmati gemericik air terjun Bantimurung, di Sulawesi Selatan. Melintasi jalanan lintas Sumatera di Bukit Barisan. Menelusuri Tana Toraja, atau sekedar duduk-duduk di warung kopi di sebuah kota kecil di Aceh.
Menikmati mendaki kaki gunung di Papua yang dipandu oleh suku asli, lalu singgah ke perkampungan transmigrasi serta bermadikan air sungai di hutan Papua, atau menaiki kapal kecil menuju pulau di dekat pesisir pantai Losari.
Aku menghabiskan masa kecil dengan berpindah-pindah tempat. Dulu rumahku sangat dekat dengan pesisir pantai yang berbatasan langsung dengan Samudera Pasifik. Satu hal yang sangat aku nikmati dan syukuri. Melihat berbagai pemandangan, bertemu dengan orang-orang dengan latar belakang berbeda. Ayah yang menanamkan kecintaan menjelajah.
The Gong Travelling, membangkitkan memori itu. Rasanya ingin menjejakkan kaki kembali ke tempat-tempat yang belum pernah aku kunjungi. Sayang dulu belum memiliki ketertarikan untuk menulis dan mendokumentasikan semua perjalananku.
Buku ini cukup menghibur, dilengkapi dengan foto-foto perjalanan. Ada banyak hal yang dapat dipetik. Kisah-kisah perjalanan Gol A Gong saat singgah di beberapa negara di Asia membuat kusadar masih ada hal baik yang dimiliki negeri kita, Indonesia.
Penjara Itu Bernama Scizophrenia
sumber gambar:
thewannabescientist.com
Warga Gaza Cinta Al-Qur'an
Oleh: Ustazah Nurjannah Hulwani
Ismail Haniyya, beliau selalu menjadi garda terdepan menjadi aktivis mukhoyyam Al-Qur'an. Menterinya, anak-anaknya, rakyatnya, mereka itu cinta Al-Qur'an sampai semuanya dikelola oleh departeman agama di Gaza. Dan yang membuat saya tidak mampu menahan air mata itu ketika saya mendatangi majelis tahfidz Al-Qur'an ada seorang ibu yang bernama Fatiya Gatos, usia 57 tahun, buta huruf, mulai menghapal Al-Qur'an di usia 50 tahun. Di usia 56 tahun hapal 30 juz Al-Qur'an.
Satu lagi seorang wanita Palestina, usianya 50 tahun, koordinator 16 TPA. Saking semangatnya dia menjumpai saya dengan tergopoh-gopoh, dia katakan, "Bu Nurjannah, Alhamdulillah saya sudah hapal 25 Juz. Sebentar lagi saya akan hapal 5 Juz dan awal bulan saya akan diwisuda."
Jadi obrolan sehari-hari kita sangat terkait dengan apa yang ada di hati dan di kepala. Kalau cintanya dengan kekuasaan pembicaraannya tentang kekuasaan. Kalau cintanya materi, dia akan bicara soal materi. Pada saat itu saya bisa tersenyum, tapi setiba di penginapan air mata saya terkuras deras. Saya ingin mengatakan kalau Allah mengijinkan saya kembali, maka tempat yang pertama kali saya datangi adalah lembaga tahfidz Al-Qur'an.
Pada saat itu saya hanya takut kematian. Saya meminta untuk dipanjangkan usia oleh Allah SWT, agar sepulang ke Indonesia saya bisa memperbaiki hubungan dengan Allah, dengan Al-Qur'an. Bagaimana mungkin kita mengatakan kita mencintai Al-Qur'an? Bagaimana mungkin kita menjadikan Al-Qur'an sebagai teman sejati kita? Jika ingin menjadikan Al-Qur'an sebagai teman sejati, kita harus sering bersilaturahim dengan Al-Qur'an. Membacanya, memperbaiki bacaannya, memahami isinya.
Saya ingin menceritakan kepada ikhwan dan akhwatfillah, peristiwa di Rab'ah. Para alumni Rab'ah yang saya wawancarai, rata-rata yang menjemput kesyahidan adalah mereka yang hapal 30 juz Al-Qur'an. Selain aktivitas mereka di masyarakat dikenal. Asma Baltaji, anak pemimpin kita, DR. Baltaji. Dia menjemput kesyahidan di usia 17 tahun bukan hanya hapal 30 juz Al-Qur'an tapi juga hapal tafsir 30 juz Al-Qur'an.
Di Palestina menjadi hafidz Al-Qur'an itu bukan berada di zona aman. Hafidz Al-Qur'an harus berbanding lurus dengan kontribusi dakwahnya. Hamas orang yang paling sholeh diantara penduduk Gaza. Dia hapal 30 juz Al-Qur'an, hapal hadits Arbain, dan tidak pernah meninggalkan salat berjama'ah di masjid. Dan kenapa wajahnya selalu ditutup untuk menjaga kelurusan niatnya. Agar mereka berjuang benar-benar karena Allah, bukan untuk disebut pahlawan.
Dan menariknya orang-orang di Gaza bukan hanya hapal Al-Qur'an. Mereka orang yang berpendidikan, S1 sudah pasti. S2 dan S3 banyak di Gaza. Saya tidak tahu darimana mereka belajar.
Cinta mereka kepada Al-qur'an itu memang luar biasa. Secara acak saya masuk ke PAUD, usia 2,5 tahun dengan lantangnya membaca surah Ar-rahman. Di jalanan kita acak, mereka membaca yang paling panjang.
Menjelang kepulangan saya, ada anak-anak yang dibawa oleh seorang wanita Palestina. Usia 10 dan 8 tahun. Selama dua jam mereka menemani saya dengan memamerkan hapalannya. Bukan untuk riya, mereka hanya ingin menunjukkan betapa mencintai Al-Qur'an. Setelah bosan dia bernyanyi nasyid, setelah bosan dia berpuisi. Isinya tidak jauh dari cinta Al-Qur'an, cinta Al-Aqsha, dan cinta syahid fii sabilillah.
Anak-anak itu menulis:
Kami ingin bilang kepada anak-anak Indonesia, hapalkanlah Al-Qur'an, pelajarilah manhajnya!
Agar kalian bisa datang ke Gaza dan bersama-sama dengan kami membebaskan masjid kita, Masjid Al-Aqsha.
Salam kami untuk kamu semua, anak Indonesia.
Salamku untuk anak-anak Indonesia, dan aku memohon doa dari kalian semua untuk kemenangan pembebasan Al-Quds dari rampasan Zionis yahudi.
Kata Si Togar
Siang itu ada yang beda dengan suasana di lapangan belakang SMA Kacrut.
Satu geng cewek tengah bergerombol dengan tampang siap perang. Sementara di tengahnya ada seorang cewek yang lagi ketakutan.
Sariyem dan Ponirah diam-diam mengintip dari gang dekat lapangan. Mereka berbisik-bisik.
"Duh! Bakalan perang lagi nih Rah. Kasian tuh anak mau dikeroyok."
"Iya nih, eike rekam aja deh di HP biar pada kapok!" Sariyem geram.
Enggak beda lama geng mereka mulai mengejek, lalu creambath-creambathan--jambak-
Cakar sana, cakar sini. Sampai mukanya coreng-moreng. Setelah puas
merekam Sariyem dan Ponirah ngibrit secepat jet coaster di Dufan.
"Istirahat dulu yuk!" Ponirah ngos-ngosan. Dia ngajak mampir ke warung baksonya Bang Togar.
"Ee...kenapa kalian pada ngos-ngosan? Abis dikejar tukang tagih utang
ya?" celetuk Bang Togar dengan logat Batak yang asli kental banget.
"Ah! Bisa aja Bang, kita abis jadi saksi mata peristiwa penting nih!" Sariyem sok-sokan jadi detektif.
"Peristiwa apa pula yang kau maksud?" Bang Togar makin penasaran.
"Sebelum kita tunjukkin, pesen baksonya dua porsi ya Bang!"
Bang Togar nurut aja sama duo centil itu. Padahal tampangnya sangar,
rambutnya gondrong dikuncir dua, ada gambar tato Cherrybel di lengannya.
Katanya sih dia mantan napi dan udah tobat. Sekarang kerjaannya jualan bakso.
Enggak beda lama dua mangkok bakso tersaji di depan Ponirah dan Sariyem.
Sontak Sariyem gagal fokus, perutnya langsung dangdutan mencium aroma bakso yang aduhai.
Ponirah juga langsung menyerbu bakso yang imut-imut itu. HP yang
sedang memutar video rekaman kejadian tadi dia biarin ngegeletak di
meja.
"Hmm..." Bang Togar manggut-manggut sambil mengintip video di HP Sariyem.
"Mau kau apakan video itu?" Telunjuk Bang Togar yang segede pisang kepok menunjuk HP Sariyem.
"Ini bukti penting, Bang! Eike dan Ponirah mau ngelaporin kelakuan
mereka ke guru." Hidung Sariyem kembang-kempis, kayaknya dia bangga
banget bisa dapetin bukti itu.
"Oh... itu namanya bullying! Macam mana anak baru gede udah bisa
bullying?" Bang Togar geleng-geleng. Kunciran rambutnya sampai kena muka
Ponirah.
Jelas aja Ponirah manyun, acara makannya terganggu wangi minyak rambutnya Bang Togar.
"Abang keren juga tau kata bullying," kata Ponirah sambil manyun.
"Ee... jangan salah! Dulu waktu di lapas abang pernah berobat sama psikolog!"
"Yah... Bang, berobat sama psikolog kok bangga?" Sariyem ikutan nimbrung.
"Paling enggak abang kecipratan ilmunya laahhh!"
"Emang bullying apaan Bang?" Ponirah penasaran.
"Bullying itu kalau kau sakiti orang, misalnya mengejek, memukul atau mengucilkan." Bang Togar tiba-tiba jadi serius.
"Mmm... pantes ada lagu judulnya sakitnya tuh di sini." Sariyem asal celetuk.
"Apa hubungannya Yem?" Ponirah rada-rada kesel. Sariyem cuma cengar-cengir.
Hari mulai sore. Matahari udah mulai sembunyi malu-malu. Bakso di
mangkok duo centil udah ludes. Mereka masih asyik ngobrol sama Bang
Togar.
"Kalo kalian liat temen dibully, setelah kejadian kalian ajak ngomong
lah pelaku dan si korban. Jangan malah ikut-ikutan nge-bully korban.
Kalo udah parah lapor aja ke sekolah." Bang Togar jadi ikut geram.
"Iya Bang, mereka udah dibilangin cuma enggak ngaruh. Nih mau minta tolong sama guru."
"Nah, bagus itu!"
Berhubung duo centil harus pulang. Mereka siap-siap bayar bakso.
"Rah! Dompet eike ilang!" Sariyem panik.
"Jangan-jangan jatoh waktu kita lari. Aku juga ga bawa duit."
Bang Togar mencium gelagat, kayaknya duo centil bakalan ngutang.
"Berhubung abang lagi baik, abang punya tebak-tebakkan. Kalo kalian bisa jawab enggak usah ngutang."
"Apa tuh Bang?"
"Bully, bully apa yang bikin abang seneng banget?"
Duo centil bengong, celingak-celinguk. Terus geleng-geleng kompak.
"Bully yang bikin abang seneng itu... 'Bang bully baksonya
semangkok!' Akakakak." Bang Togar ngakak puas banget. Sampai urat
lehernya nongol.
Sementara itu duo centil cuma garuk-garuk kepala.
Testimoni Buku: R4BIA 55 Kisah di Balik Tragedi Rabia
Bagaimana mungkin tidak jatuh cinta dengan Mesir?
Dia
adalah Said,usianya belum genap 15 tahun. Di usia 5 tahun, Said sudah
menuntaskan hapalannya, 30 juz Al-Qur'an. Said, saat membaca kisah
hidupmu aku berlinangan air mata. Apa yang kamu lakukan di tengah
desingan peluru di Maidan Rabiah Al-Adawiyah?
Di belahan
bumi lain anak-anak seusiamu tenggelam dalam kelalaian. Mereka
duduk-duduk seharian penuh di pusat perbelanjaan, mendengar musik
hingga lupa diri, atau mungkin sedang asyik masyuk berpacaran. Tapi
tidak dengan dirimu, kamu punya cita-cita yang tinggi.
Saat
terdesak dalam pengepungan dengan gagah berani kamu menghubungi
ayahmu, "Sudah ada korban syahid 300 orang doakan aku agar menjadi yang
ke 301."
Ayahmu menuliskan kisah hidupmu, menjadi
pelajaran bagi kami. Kamu menghembuskan nafas terakhir dalam keadaan
beristighfar dan berzikir, ketika salat Ashar di Maidan di samping
Al-Manassah, peluru-peluru tajam dimuntahkan hingga perkemahan di
sekitarmu terbakar habis. Saat itulah kamu terkena peluru. Tak lama
setelah kematianmu seorang sahabat, bermimpi melihatmu bermain di taman
surga.
Aku sudah terlanjur jatuh cinta. Bagaimana tidak?
Habibah,
dia seusiaku. Seorang wartawati yang ditugaskan meliput peristiwa
tragis di Rabiah Al-Adawiyah. Dengan gagah berani kamu panggul kamera
merekam semua peristiwa di Rabiah Al-Adawiyah. Orang-orang lari
tunggang langgang, tapi tidak dengan dirimu dengan langkah mantap kamu
maju mendekati pasukan. Rupanya kamu ingin seluruh dunia tahu apa yang
sebenarnya terjadi. Orang-orang disekitarmu berteriak memberitahu,
"Kembali-kembali!"
Tapi tak ada kata kembali di hatimu saat itu. Sebuah peluru menembus jantungmu hingga ke punggung.
Sebelum kematianmu. Teman-temanmu berkata,"Kemarilah, berbuka puasalah dulu bersama kami."
"Apa ada yang bisa saya makan?" tanyamu.
"Masih tersisa sedikit."
"Tak apa, aku akan melanjutkan buka puasaku di surga."
Saudaraku,
kalian telah berhasil mencuri hatiku. Sungguh sudah tak terhitung
berapa kali aku jatuh cinta pada kalian. Saudara muslimku di Gaza,
Mesir, Suriah, Afrika Tengah, dan di belahan bumi manapun. Aku belajar
makna ketangguhan dari kalian.
Iran di Mata DR. Aidh bin Abdullah Al-Qarni
Copy and WIN : http://ow.ly/KfYkt
Copy and WIN : http://ow.ly/KfYkt
Copy and WIN : http://ow.ly/KfYkt
Bikin Nonfiksimu Seseru Komik
6 Kesalahan Orang Tua Tentang Pendidikan Seks
Sebuah penelitian yang dilakukan Komnas PA terhadap perilaku seks di kalangan remaja SMP dan SMA, menunjukkan fakta yang juga mengejutkan, dari 4.726 responden, 97% mengaku pernah menonton video porno dan 93,7% mengaku sudah tidak perawan.
Si Jenius yang Dianggap Tanaman
“Apabila semua jalan terasa buntu oleh anda maka pikirkanlah janji yang ada dalam surat Al-Insyirah.”
(DR. ‘Aidh Abdullah Al-Qarni)
“Anak anda seperti tanaman.” Ucap dokter kala itu dihadapan Jhon. Jhon merah padam wajahnya, dia sangat geram. Sudah berminggu-minggu anaknya dirawat di rumah sakit dan menjalani serangkaian pemeriksaan yang melelahkan.
“Aku sudah menghabiskan banyak waktu dan tenaga hanya untuk mendengar kata-kata, ‘Anak anda seperti tanaman!’” Ia meninggalkan rumah sakit dengan memendam kekesalan dan membawa pulang anaknya. Di dalam hati kecilnya ia tetap percaya anak itu dapat tumbuh dengan baik.Jhon tidak mau menyerah, dia terus mencari jalan untuk mengobati anaknya. Hingga suatu hari dia datang ke tempat Glenn Doman, harapannya semakin besar.
Setiap hari istri Jhon selalu memotivasi anaknya. Dia mengajari kata demi kata dan menuntunnya membaca. Melalui perjuangan yang panjang dan usaha yang keras, perlahan-lahan anak itu bisa membaca. Jhon senang sekali, dia tak sabar ingin memberi tahu Glenn Doman tentang hal itu.
“Tahukah anda? Anakku dapat membaca!” Pekik Jhon kegirangan dengan mata berbinar-binar. Glenn Doman tidak menganggap serius ucapannya, dia masih belum percaya anak Jhon benar-benar bisa membaca.
Rupanya Jhon sangat ingin membuktikannya, dia menyodorkan sebuah buku ke hadapan anaknya. Anak itu mulai membaca baris demi baris kalimat, dia benar-benar bisa membaca. Glenn Doman takjub melihatnya, bahkan kemampuan membaca anak itu di atas rata-rata kemampuan membaca anak-anak normal seusianya. dia biasa membaca buku-buku yang tebal.
Sahabat, cerita di atas adalah cuplikan kisah yang ditulis dalam sebuah buku karya Glenn Doman tentang anak-anak yang mengalami cedera otak. Ada banyak hikmah yang dapat dipetik dari kisah tersebut, diantaranya semua berawal dari motivasi.
Ada sebaris kalimat dari buku itu yang masih kuingat, “Seorang ayah dapat menjadi terapis, tapi terapis tidak dapat menjadi seorang ayah.” Para orang tua anak spesial pasti lebih memahami makna kalimat ini. Peran orang tua terhadap tumbuh kembang ananda jauh lebih besar dari peran terapis.
Teringat olehku kisah perjuangan bunda Noni Fadhilah, orang tua anak Down syndrom. Dia ikuti juga anjuran dokter, untuk melilitkan kain kasa di telunjuk, dimasukkan ke langit-langit mulut Zeina, anaknya, lantas menekannya perlahan seperti sedang memijat. Lalu meputar-putarkan hingga lidah Zeina mengikuti jarinya.
Sulit memulainya, tapi dia lakukan terus. Ternyata membawa hasil, lidah Zeina tidak terjulur dan dia dapat mengatupkan mulut saat umur 1 tahun. Di rumah, dia pasang cermin di dinding agar Zeina dapat melihat dirinya dan melihat bunda Noni berkata dengan mulut yang jelas sesuai huruf yang dikeluarkan.
Dia melakukannya terus menerus dan berulang-ulang, sembari memotivasi diri dan anaknya. Saat ini Zeina dapat bicara dan hidup mandiri. Mungkin jika bunda Noni Fadhilah berhenti memotivasi diri, ceritanya akan berbeda.
Cerita dari Bosnia
Saat itu Bosnia memasuki musim dingin, salju menutup di mana-mana. Saya bertugas di salah satu pengungsian. Sampai pada suatu hari datang sepasang anak dengan pakaian seadanya, padahal saat itu musim dingin.
Saat melihat mereka saya berpikir, sepasang anak kecil dengan pakaian seadanya di musim dingin datang ke tenda pengungsian pasti yang dicari adalah makanan, pasti mereka kelaparan. Dengan sangat polosnya saya segera menyediakan coklat untuk sepasang anak ini.
Dengan sedikit bekal bahasa Bosnia saya katakan, “Ini coklatnya.” Tapi apa jawaban yang saya dapatkan, mereka mengatakan, “Terima kasih, tapi bukan ini yang kami cari. Kami membutuhkan al-qur’an, di pengungsian tidak ada al-qur’an.”
Saya tanya kepada ustadz yang saat itu juga bertugas di sana, “Bagaimana anak itu bisa begini ustadz?”
Jawab ustadz, “Itulah anak khusus.”
Saya penasaran, seperti apa dan siapa kedua orang tuanya. Selama dua hari berturut-turut saya mencari dari satu pengungsian ke pengungsian lain. Sampai akhirnya saya menemukan bahwa ayahnya sudah syahid (InsyaAllah) dan ibunya juga sudah syahidah (InsyaAllah). Bagaimana bisa seorang anak kecil, di usianya yang baru belasan tahun dan kehilangan kedua orang tuanya tidak depresi.
Bahkan dia justru menjadi sosok yang kuat dan memiliki kepemimpinan. Anak itu pemimpin anak-anak di pengungsiann. Saya mencari informasi tentang sosok ayahnya, ternyata ayahnya sering menceritakan kisah-kisah kepahlawanan muslim di depan anak-anaknya. Inilah yang membentuk mereka.
Cerita di atas merupakan kisah nyata dari Bapak Irwan Rinaldi saat dikirim bertugas ke Bosnia. Kisah ini disampaikan dalam sebuah acara seminar parenting tentang pentingnya peranan ayah dalam membentuk karakter anak.
Saya pernah melakukan survey terhadap 700 orang ayah.
Pertanyaan pertama, apa yang sudah anda berikan untuk anak anda? Hampir semua jawabannya adalah, “Saya sudah bekerja siang dan malam untuk memberi nafkah, menyekolahkan anak saya dan memenuhi kebutuhannya.”
Pertanyaan kedua, pernahkah anda mendengarkan bacaan al-qur’an anak anda dan mengajarkan mereka membaca al-qur’an? Jawabannya semakin sedikit yang melakukannya.
Pertanyaan ketiga, pernahkan anda menceritakan tentang Rasulullah SAW dalam sekali seminggu pada anak anda? Jawabannya semakin sedikit lagi yang melakukannya.
Bukanlah suatu kesalahan ayah mencari nafkah, namun tugas ayah tidak hanya mencari nafkah. Bagaimana bisa anak mencintai al-qur’an jika tidak pernah melihat ayahnya membaca dan mengamalkan al-qur’an? Bagaimana bisa anak mencintai Rasulullah SAW jika tidak mengenal sosoknya, karena ayahnya tidak pernah bercerita.
Sahabat, seperti itulah penuturan darinya. Ada pelajaran yang bisa kita ambil, peran ayah tidak kalah pentingnya dengan peran ibu dalam mendidik anak. Diperlukan kekompakkan ayah dan ibu dalam mendidik anak.
Humaira, Gadis Cilik Suriah
“Kakak, aku takut sekali...” Umar berbisik pelan. Tubuhnya menggigil ketakutan dan ia mulai menangis.
“Sst.. diamlah Umar, jangan menangis.” Ia membekap mulut Umar ,” Nanti kita bisa ketahuan.”
Brak! Bug! Suara-suara keras pintu- pintu dibanting, diriingi derap langkah kaki bersepatu boot. Langkah-langkah berat itu semakin lama semakin mendekat. Mereka berdiri di depan lemari tempat Humaira bersembunyi. Humaira terus berdo’a di dalam hati,“Ya Allah, lindungilah kami dari kejahatan makhlukMu.”
Mereka menyenter seluruh bagian ruangan. Prang! Piring-piring di dapur berjatuhan. Humaira, mengintip dari lubang kunci lemari di bawah wastafel tempat ibunya biasa mencuci. Mereka kira-kira berjumlah empat orang, lelaki berseragam militer dengan senapan laras panjang. Jantung Humaira berdetak keras, tangannya gemetaran dan keringat dingin membanjiri tubuh kurusnya. Sementara Umar, membenamkan wajahnya ke dada Humaira seraya memegangi celananya yang mulai basah karena air kencing.
“Rumah ini kosong, ayo kita sisir rumah-rumah yang lain!” perintah pria bertubuh tinggi besar itu kepada anak buahnya.
Humaira terduduk lemas di dalam lemari, sendi-sendi tubuhnya seakan tak kuat menopang. Ia berbisik pada Umar, “Kita sudah aman Umar, mereka sudah pergi.” Umar melepaskan tangisannya di pelukan Humaira.
Kota Alepo, di bagian utara Suriah sudah seperti kota mati. Sejak peperangan dua tahun yang lalu. Rumah-rumah dan bangunan luluh lantak, rata dengan tanah. Laki-laki berseragam itu memang biasa menyisir rumah-rumah penduduk di Alepo.
Ahmad, teman sekolah Humaira sudah tewas seminggu yang lalu. Seluruh keluarganya ditembaki membabi buta, mereka memuntahkan peluru-peluru tak tentu arah, merangsek ke dalam rumah dan mengetahui siapa saja anggota keluarganya, bahkan mereka hafal satu persatu namanya.
***
Siang itu, matahari menyinari langit biru Alepo. Pakaian lusuh Humaira berkibar-kibar ditiup angin dari atas pohon. Sementara Umar duduk di bawah rimbunnya pohon seraya menantikan buah-buahan yang dipetik Humaira. Mereka memang biasa mengumpulkan makanan dari alam, belakangan ini sulit sekali mendapatkan makanan di Suriah. Jika beruntung mereka bisa makan buah-buahan atau kacang-kacangan, jika tidak, rumput, daun-daunan, dan segelas air pun sudah cukup menghilangkan lapar.
Hening. Hanya terdengar tiupan angin dan gemersik daun. Tiba-tiba, Bum! Sebuah bom dijatuhkan dari pesawat tempur, memecah keheningan kota Alepo. Umar menjerit ketakutan. Mereka segera berlindung ke dalam Masjid.
Bum! bangunan Masjid bergetar. Dengungan mesin-mesin tempur di udara bak ribuan lebah yang siap menyerang, semakin lama suaranya semakin keras, memekakkan telinga. Humaira berusaha melindungi Umar dari serpihan-serpihan bangunan Masjid yang mulai rontok. Mereka hanya bisa pasrah.
Duar! Krak! Sebuah bom mengenai sisi kanan Masjid, Masjid itu runtuh dan menimpa tubuh mungil mereka. Nyeri dan sakit yang amat-sangat, Humaira berusaha bertahan, “Umar..Umar..” suaranya ibarat bisikan yang hilang di telan angin. Sunyi, tak ada jawaban, hanya terdengar rintihan-rintihan dari mulut mungil Umar. Mata Humaira mulai berkunang-kunang, redup semakin meredup dan gelap.
***
“Humaira, Humaira,” sayup-sayup terdengar suara seseorang memanggil namanya. Ia masih belum sadar sepenuhnya. Tercium olehnya bau anyir darah dan obat antiseptik yang menusuk hidung. Derap-derap langkah kaki mondar-mandir di dalam ruangan diiringi erangan-erangan beberapa orang yang menahan sakit.
“Humaira..” suara itu kembali memanggilnya. Humaira berusaha membuka matanya sedikit demi sedikit, dilihatnya orang berpakaian putih lalu lalang, pandangannya masih buram. Ia menengok ke kanan beberapa orang merintih kesakitan dengan balutan perban. Lalu ia menoleh ke sumber suara yang memanggil-manggil namanya. Ditatapnya seorang laki-laki paruh baya, berambut tebal dan bertubuh tinggi. Ternyata Ammuh Azzam, ia adalah teman baik ayah Humaira yang bekerja sebagai dokter.
“Ammuh..”
“Apa kau sudah sadar, nak?”
“Ya, hanya saja lenganku sakit sekali.”
“Tenanglah, jangan banyak bergerak.”
“Bagaimana dengan Umar, ammuh?”
“Umar baik-baik saja, hanya saja...”
Ucapan Ammuh Azzam terhenti seraya menatap Humaira dengan tatapan iba.
“Kuatkan hatimu nak..”
“Ada apa ammuh?”
“Adikmu harus diamputasi kaki kirinya, karena terkena serpihan bom.”
Humaira terdiam, ada setitik bening di sudut matanya. Menahan perihnya luka hati, mengingat kondisi Umar yang kelak hanya memiliki satu kaki. Selama beberapa hari ke depan mereka harus menginap di rumah sakit, sampai semua luka-lukanya pulih kembali.
***
Seminggu kemudian
“Ammuh, apa kami sudah boleh keluar dari rumah sakit?” tanya Humaira kepada Ammuh Azzam yang setiap pagi selalu rutin mengunjungi Umar dan Humaira.
“Sudah bisa, di mana ibumu?” tanya Ammuh Azzam,” Pihak rumah sakit akan menghubunginya agar menjemput kalian.”
“Ibu...sudah meninggal ammuh..” jawab Humaira, “ Sebulan yang lalu, ibu ditembak sniper saat pergi ke pasar.”
“Sedangkan ayah...aku tidak tahu bagaimana nasibnya, sudah enam bulan lebih ayah tidak pulang ke rumah,” ada gurat kecemasan di wajah tirus Humaira.
Ayah Humaira memang jarang pulang ke rumah, sejak peperangan meletus dua tahun yang lalu. Beberapa kali Humaira memergoki ayahnya membawa pulang lempengan-lempengan besi bekas tanki, cakram rem mobil, dan benda-benda rongsokan lainnya. Ia bekerja semalaman di bengkelnya. Ayah Humaira, seorang teknisi. Namun Humaira tak tahu secara pasti apa yang dikerjakan ayahnya malam itu.
“Humaira, ayahmu masih hidup. Bergembiralah!” ucap Ammuh Azzam berusaha menghibur.
“Benarkah, Ammuh?”
“Ya, saat ini ia ada di tempat yang aman.”
“Ammuh, tolong sampaikan padanya, kami sangat merindukannya...”
“Insya Allah..” ucap Ammuh Azzam sambil mengangguk, “ Sekarang kemana kalian akan pergi?”
“Entahlah Ammuh, rumah kami tak lagi aman. Beberapa waktu lalu beberapa orang berpakaian militer mendobrak masuk ke dalam rumah.”
“Tinggallah di pengungsian, di sana lebih aman. Aku akan mengantarkan kalian ke pengungsian yang terdekat dengan Alepo, di Mandjeb.”
“Baiklah ammuh..”
Ammuh Azzam dan Humaira menggandeng Umar yang masih tampak canggung dengan kedua tongkatnya, kaki kecilnya tertatih-tatih. Mereka bertiga meninggalkan rumah sakit menuju ke Mandjeb.
Mandjeb, 20 November 2013
Suriah memasuki musim dingin di bulan November, salju tebal dengan suhu di bawah 1 derajat celcius melanda seluruh penjuru Suriah, termasuk kamp pengungsian di wilayah Mandjeb. Tenda-tenda pengungsian di Mandjeb tak mampu menghadang dinginnya salju disertai angin musim dingin, tidak ada pemanas listrik karena di pengungsian tidak ada aliran listrik. Tidak semua pengungsi mendapatkan selimut tebal, sebagian mereka terpaksa menghangatkan tubuh menggunakan kain seadanya.
Humaira duduk berdempet-dempetan dengan Umar untuk menghangatkan tubuh mereka, gigi mereka bergemeletuk dan tangan-tangannya pucat menahan dingin. Siang itu para relawan membawa kabar gembira, ada bantuan datang berupa selimut tebal. Anak-anak dan lansia mendapat prioritas lebih dulu untuk mendapatkan selimut tersebut. Tiba-tiba terdengar suara seorang relawan dari luar tenda.
“Assalamualaikum, kami membawa beberapa lembar selimut. Adakah yang membutuhkan?”
Ammah Zubaidah keluar dari tenda mereka dan membagikan selimut-selimut tersebut kepada para penghuni tenda, satu tenda di pengungsian bisa di huni empat keluarga. Bagi Humaira dan Umar, Ammah Zubaidah sudah seperti ibu kandungnya sendiri. Ammah Zubaidahlah yang mengurus segala keperluan mereka selama di pengungsian.
Hari demi hari di pengungsian di isi dengan aktivitas bermain, mereka menggambar dan mendengarkan dongeng dari para relawan. Itulah satu-satunya hiburan bagi mereka di tengah ganasnya peperangan. Ada seorang relawan dari Indonesia yang sangat disukai Umar, Ammuh Usman, demikian Umar biasa memanggilnya.
Di malam hari Umar biasa menyelinap ke tenda para relawan hanya untuk mendengarkan dongeng sebelum tidur dari Ammuh Usman. Mungkin Umar hanya rindu dengan ayahnya, ia memang terbiasa mendengarkan dongeng menjelang tidur dari ayahnya.
“Ya Ammuh, ceritakan kepadaku dongeng yang lainnya,” pinta Umar seraya meletakkan tongkatnya dan duduk di samping Ammuh Usman yang sedang menuntaskan tilawah Al-qur’annya. Ammuh Usman merangkulnya dan mulai bercerita di tengah kelap-kelip lilin kecil. Hingga Umar tertidur.
***
Mandjeb, 29 November 2013
Anak-anak bermain salju di depan tenda-tenda pengungsian, hari ini sedikit bersahabat. Matahari sedang bermurah hati membagikan cahayanya. Humaira dan Umar terbiasa bermain bersama anak-anak pengungsi yang lain. Terkadang mereka saling menimpuk dengan bola-bola salju.
Tiba-tiba, Ammuh Usman memanggil Humaira dan Umar. Di sampingnya berdiri dua orang laki-laki, yaitu Ammuh Azzam dan seorang laki-laki dengan kaca matanya dan kulitnya yang putih.
Humaira terperanjat,“Itu Ayah!” pekiknya kepada Umar. Humaira berlari berhamburan menuju ke pelukan Ammar, ayahnya. Sementara Umar tergopoh-gopoh mengayunkan tongkatnya di belakang Humaira. Rasanya seperti mimpi, Ammar memeluk anak-anaknya dan menangis hingga basahlah jenggotnya.
Malam itu Ammar tidur di tenda pengungsian, mereka melepas rindu yang lama terpendam. Umar tertidur di pangkuan ayahnya, sangat pulas. Sementara Humaira lebih senang berbincang-bincang dengan ayahnya.
“Ayah, ke mana saja Ayah selama ini?”
Ammar hanya tersenyum, sembari membelai lembut rambut Humaira. Lama ia menatap putrinya yang mulai beranjak dewasa. Mirip sekali ia dengan ibunya, Sarah.
“Humaira, jagalah Umar. Ia anak yang halus hatinya.”
“Aku akan menjaganya ayah...hanya dia dan ayah yang aku miliki.”
Ammar merogoh saku bajunya yang sudah kusam. Ia mengambil secarik kertas lecek dan menyerahkannya kepada Humaira.
“Ini alamat Amirah, bibimu.” Ucap Ammar diselingi tiupan angin malam,” Saat ini ia tinggal di Yordania.”
“Kalian pergilah ke sana,”Ammar memeluk erat Humaira seakan-akan itulah pertemuannya yang terakhir,”Esok Ammuh Usman akan pulang ke negaranya. Ia akan melewati pintu perbatasan dengan Yordania.”
Humaira mendengarkan dengan seksama.
“Ayah sudah memintanya untuk mengantarkan kalian ke tempat Ammah Amirah.”
“Bukankah Ayah ikut dengan kami?”
“Tidak, putriku. Masih ada yang harus Ayah lakukan di sini.”
Humaira mengatupkan bibirnya, bergetar. Air matanya bercucuran deras bak anak sungai, seakan-akan belum hilang kerinduan pada ayahnya. Esok hari ia harus berpisah kembali.
***
Pagi itu Humaira dan Umar sudah bersiap untuk pergi ke Yordania. Umar memeluk erat-erat ayahnya seraya menangis terisak-isak. Mereka segera menaiki jeep para relawan.
Dari kejauhan Umar melihat Ammar melambaikan tangan semakin lama semakin kecil. Tiba-tiba terdengarlah desingan peluru bersahutan-sahutan seperti suara petasan, di selingi pekikkan takbir membahana dari mulut Ammar. Ia terjerembab jatuh ke tanah. Ia tertembak tepat di lehernya. Merah darahnya mewarnai putihnya salju. Umar terkesiap menatap Humaira dengan kesedihan yang mendalam, “Ada sniper... Ayah..”
Humaira hanya bisa memeluk dan membelai rambut pirang Umar, ia berbisik, “Inilah yang sudah dinantikan ayah dari dulu Umar... inilah alasan kenapa ayah tetap bertahan di Suriah...kuatkanlah hatimu.” Setetes demi setetes bening jatuh membasahi baju lusuh Humaira.
Mobil jeep itu melaju dengan kecepatan penuh menuju pintu perbatasan dengan Yordania. Menghilang bersama angin musim dingin.
Cara Jitu Menghindari Begal
Menurut kriminolog UI, Iqrak Sulhin, jumlah kasus pembegalan masih tergolong sedikit, hanya saja kualitas kejahatannya cukup mengkhawatirkan. Mereka tidak segan-segan membunuh korban.
Ada beberapa tips yang bisa kita coba untuk menghindari begal:
Banyak tindak kejahatan terjadi karena ada kesempatan. Tempat yang sepi dan gelap merupakan tempat yang sangat potensial terjadinya kejahatan. Jika kita terpaksa pulang larut malam usahakan untuk memilih jalan yang ramai dan terang. Tujuannya selain meminimalkan tindak kejahatan juga memudahkan kita meminta tolong jika menjadi korban kejahatan.
2. Hindari melewati rute jalan yang belum dihapal
Ada baiknya kita melakukan survey dan mencari informasi sebelum pergi ke sebuah wilayah yang belum pernah kita kunjungi. Selain memudahkan kita karena sudah mengetahui rutenya, kita bisa memlih alternatif jalan yang kira-kira aman untuk dilalui. Sebisa mungkin jangan melewati rute jalan yang belum kita hapal.
Barang-barang mewah yang kita gunakan, misalnya perhiasan dan handphone. Bisa menjadi pemicu tindak kriminalitas. Saat berkendara sebaiknya jangan menggunakan barang berharga. Jika terpaksa harus membawanya simpanlah di dalam tas.
Kewaspadaan menjadi hal yang penting, apalagi jika kita orang yang biasa pulang larut malam. Hampir semua kasus begal terjadi di malam hari. Perhatikan keadaan, jika ada hal-hal yang mencurigakan misalnya merasa dibuntuti, segera pergi ke kantor polisi terdekat.
Jika memungkinkan, ajaklah teman saat berkendara di malam hari. Teman bisa membantu meminta tolong kepada orang-orang di sekitar tempat kejadian.
Informasikan setiap kepergian kita kepada keluarga dan orang terdekat. Jika sewaktu-waktu terjadi hal yang tidak diinginkan, pihak keluarga bisa cepat bertindak melapor ke kantor polisi.