Hikmah Terserak di Rumah Sakit

Rumah sakit tempat yang penuh hikmah. Ada pelajaran tersirat yang Allah SWT sampaikan jika mau mengambil pelajaran.

Beberapa hari terakhir Allah SWT berkehendak saya menginjakkan kaki ke tempat itu. Maila sakit dan harus berobat.

Hari itu saya duduk di ruang tunggu, sembari mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan. Rata-rata pasien yang datang dari kelas ekonomi menengah ke atas. Ada hal yang menarik.

Pemandangan pertama, seorang ibu muda, cantik seksi dengan celana hot pants, datang dengan dua anak laki-lakinya yang ditemani pengasuh.

Sekilas saya perhatikan, ibu cantik itu asyik masyuk dengan gadget. Sementara dua anaknya berlari-lari di ruang tunggu. Mbak pengasuh tergopoh-gopoh mengejar dengan semua peralatan 'tempur' di ranselnya.
Dia lebih mirip ibu anak-anak itu, saat mereka membutuhkan sesuatu bukan mamanya yang didatangi tapi pengasuh.

"Mau makan?" tanya pengasuhnya lembut sembari mengeluarkan kotak bekal.

Anak-anak itu duduk lalu makan dengan lahap. Setelah saya selesai dan mengantri di kasir, ibu cantik itu masih saja sibuk dengan gadget. Padahal sudah satu jam lebih saya mengantri.

Pemandangan kedua, seorang ibu hijaber tengah duduk menelepon berjam-jam. Anak laki-lakinya yang kira-kira berusia 10 tahun terlihat seru sendiri bermain game di gadget miliknya. Tidak ada interaksi diantara mereka berdua.

Setelah ibu hijaber puas menelepon. Dia hendak menaruh gadgetnya ke dalam tas. Dan betapa terkejutnya dia saat mendapati tasnya basah kuyup.

"Duh, kamu sih Dek. Tas mama basah nih!" Dia mengeluarkan botol air mineral yang ternyata tidak rapat ditutup.

Anaknya hanya diam saat dimarahi lalu sibuk kembali bermain game.

Pemandangan ketiga, tiga orang kakak beradik yang usianya dekat-dekat. Mereka menunggu ibunya menyelesaikan urusan administrasi.

Anak yang paling besar mungkin masih SD, adiknya kira-kira usia empat tahun dan yang paling kecil masih di kereta bayi.

Saya perhatikan dua anak itu, mereka berlarian sambil menggenggam benda hitam kecil bernama gadget. Sesekali mereka memainkan, sesekali perhatiannya beralih.

Ada hal yang mengganggu pikiran saya. Ada apa dengan keluarga-keluarga ini? Saya miris saat gadget menjadi benda yang mengikis kedekatan hubungan orang tua dengan  anak.

Padahal masa anak-anak tidak akan bisa diulang. Kelak orang tua akan merindukan masa-masa itu, ketika anak beranjak dewasa dan berkeluarga, mereka akan sibuk dengan urusannya sendiri.



Mereka akan semakin mandiri dan tidak terlalu membutuhkan orang tua. Saat itu orang tua sadar telah kehilangan momen-momen emas. Mereka kesepian di masa tua karena di masa mudanya tidak berusaha mengisi hati anak dengan kasih sayang hingga kelak di masa dewasa anak itu ingat betapa sayangnya ibu dan bapak pada mereka. Bukan salah anak-anak itu, orang tua sendiri yang telah mengganti posisi dirinya di hati anak dengan gadget.

Jika saat ini anak-anak kita sangat pencemburu dengan alat-alat elektronik, entah tab, laptop, atau gadget, bersyukurlah!

Jika mereka marah saat kita sibuk dengan benda-benda itu lalu berkata, "Ummi Abi ga boleh maen HP!"
Menangislah bahagia, karena itu tanda kitalah yang ada di hati mereka, mereka ingin perhatian dan kasih sayang kita. Bukan gadget tempat mereka mendapat segala kenikmatan.

#JanganKasihAnakGadget
#BijakGunakanGadget

Rumput Tetangga Tak Selalu Lebih Hijau

Aira bersungut-sungut, tubuhnya terasa remuk. Pagi dia sibuk mengurus anak, siang hari berkutat dengan pekerjaan dapur, sementara di malam hari tidak juga bisa istirahat karena membantu anak mengerjakan PR.
Kemana suaminya? Ada di pulau seberang, berkutat menguras keringat demi mencari sesuap nasi. Sebulan sekali suaminya pulang, itu pun tidak lama. Hanya tiga atau empat hari menginap lalu kembali ke tempat kerja.

Setiap kali Aira mengintip jendela, ada kesedihan yang terselip. Melihat rumah nan megah di sebrang jalan. Aira berandai-andai, senangnya menjadi nyonya rumah di sana. Ada suami yang selalu mendampingi, semua kebutuhan terpenuhi, pembantu yang selalu siap bekerja, dan khayalan-khayalan lainnya.

Sementara itu di waktu yang sama, nyonya rumah berpenampilan glamor juga sedang mengintip iri ke arah rumah Aira. Matanya sembab berkantung, sudah semalam suntuk tidak tidur. Dia menangis tanpa henti. Dunia seperti hancur berkeping-keping saat mendapati handphone suaminya penuh SMS mesra.
“Lebih baik miskin kayak tetangga di seberang, mungkin kalau miskin dia tidak akan berkhianat.”

Jika saja Aira tahu penderitaan nyonya rumah tetangganya, dia akan lebih menghargai hidup. Sekalipun suaminya jarang pulang, dia mendapat suami yang setia.

Dan jika nyonya rumah tahu betapa tidak mudahnya membesarkan anak sendirian tanpa sering didampingi suami, dia bisa meredam sakit di hatinya.

Setiap Kurma Ada Bijinya

Setiap kurma ada bijinya, demikian ungkapan yang tertulis di dalam buku Aidh Al-Qarni. Setiap orang pasti punya masalah sendiri. Dunia tempat kita berlelah letih, ditempa ujian. Ada senang ada duka, lapang dan sempit, ketakutan diiringi rasa aman, dan banyak lagi warna-warni kehidupan yang Allah SWT torehkan.

Bahkan para nabi juga diuji. Nabi Nuh diuji dengan anaknya, Nabi Luth dititipkan istri yang durhaka, Nabi Musa menghadapi kaumnya yang sangat keras kepala, sementara Nabi Ayub ditimpa penyakit.

Tiada manfaat melihat kehidupan orang lain -dalam hal duniawi- lalu membandingkannya dengan kehidupan kita. Apa yang tampak belum tentu sama dengan perkiraan kita.

Setiap kurma ada bijinya. Begitu pula dengan kekurangan. Bukankah manusia tempatnya salah dan lupa? Tidak ada manusia yang sempurna, setiap kita pasti punya kekurangan.

Apa guna membandingkan pasangan dengan orang lain? Toh orang yang dibandingkan juga punya kekurangan. Tidak akan puas mata memandang, hasrat dan keinginan manusia lebih panjang dibandingkan usianya. Nafsu itu seperti bayi yang menetek pada ibunya, semakin dituruti makin menjadi-jadi.


Jika Senja Telah Tiba

Jika senja telah tiba. Kita sama-sama menua, berpuluh tahun mengarungi lautan kehidupan. Adakalanya biduk yang kita tumpangi bocor terhempas batu karang. Tak jarang pula kita menikmati indahnya suasana laut tenang.

Ketika rambut telah memutih, tulang rapuh, mata pun rabun. Jangankan mengingat tanggal pernikahan, makan atau mandi saja terlupa. Apa yang kita cari dari sebuah pernikahan? Masa-masa kejayaan telah berlalu. Satu persatu atribut keduniawian rontok: harta, jabatan, popularitas, paras rupawan, hingga kekuatan fisik. Di saat inilah kita diuji. Apakah kebersamaan kita selama ini tulus karena Allah atau karena hal lain?

Selalu ada titik terakhir tempat kita berhenti. Kebersamaan kita di dunia terlalu singkat, ibarat bertemu di pagi hari dan berpisah di siang hari, atau bahkan lebih cepat dari itu. Nikmati saja kebersamaan yang pendek ini, mungkin hari, jam, atau detik ini momen terakhir mata kita saling memandang.

Tak peduli yang tertangkap retina mata rambut putih masai tidak beraturan, gigi yang sudah ompong, atau kulit kusut mengeriput. Meskipun hati bertanya, “Masihkah kau ingat siapa aku?”
Berharap kita tetap berdampingan hingga senja menyapa –jika Allah mengizinkan-

Karena Kita Tak Bisa Sendirian

Karena mendidik anak tidak bisa sendirian, butuh pertolongan Allah dan bantuan orang lain.
Dekatkan anak dengan ulama, masjid, al-qur’an dan orang-orang shaleh. Tidak ada orang tua yang sempurna, kalau toh kita kurang mampu memberi teladan, berharap anak-anak kita diberi petunjuk melalui keteladanan orang lain.

Alkisah ada seorang wanita yang cerdas. Dia bernama Al-Ghumaisho, ibunda Anas bin Malik.
Wanita itu menanamkan bekal terbaik di hati Anas kecil, yaitu kecintaan pada Rasulullah SAW. Tatkala Anas berusia 10 tahun, ibunya membawa Anas kepada Rasulullah SAW, lalu berkata,” “Wahai Rasul, tidak satu pun seorang laki-laki dan perempuan dari Anshar ini, kecuali telah memberi hadiah kepadamu, dan sesungguhnya Aku tidak memiliki apa yang dapat aku berikan kepadamu kecuali anakku ini…. maka ambillah anak ini agar dia dapat membantumu kapan Anda mau.”

Ibunda Anas tahu benar kepada siapa dia menitipkan anaknya. Kepada manusia paling mulia di muka bumi Rasulullah SAW.

Bukan tanpa sengaja, Al-Ghumaisho berharap anaknya mereguk ilmu, meneladani keutamaan akhlak dari sumber yang sangat terpercaya.

Jikalau pada kenyataannya kita terpaksa membesarkan anak di tengah lingkungan yang serba tidak mendukung. La tahzan, jangan bersedih.

Kita bisa belajar dari kisah Nabi Musa. Pada masa awal kehidupannya, dia terpaksa berpisah sementara dari ibunya. Dilarung ke sungai menghindari kekejaman Firaun.

Takdir Allah berkata lain, Nabi Musa justru diselamatkan oleh Asiyah, istri Firaun. Akhirnya dia dibesarkan di dalam kerajaan musuhnya sendiri. Penentang Allah yang melampaui batas. Meskipun begitu Nabi Musa tumbuh menjadi pemuda yang beriman.

Ada kisah lain yang mirip tapi tak sama. Seorang kawan bercerita, dia aktif menggiatkan program sekolah gratis di sebuah desa di daerah Jawa Barat. Sore harinya anak-anak SD itu tidak langsung pulang ke rumah. Mereka menghafalkan Al-qur’an bersama-sama.

Ada satu orang anak yang istimewa, anak itu memiliki ayah yang berprofesi sebagai preman. Tato memenuhi tubuh ayahnya.

Tak dinyana, saat mendengar hafalan Al-Qur’an anaknya, sang ayah menangis tersedu-sedu.
“Saya berantakan gini, kok bisa punya anak baik?” ujarnya tak percaya.

Siapa yang menggenggam hati anak itu sehingga dia mudah menerima ajaran Islam meskipun lingkungannya tidak mendukung? Ada kehendak Allah SWT yang berperan di dalamnya.

“Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Alloh memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Alloh lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk.” (QS Al Qashash: 56).


Maka diantara sekian banyak kekurangan-entah yang berasal dari diri kita sendiri sebagai orang tua atau dari lingkungan sekitar- dalam mendidik anak, ada doa yang tidak terputus. Berharap kelak Allah SWT menjaga anak keturunan kita.

(Tulisan ini telah dimuat di www.ayolebihbaik.com)

Ibu Sudah Makan?

Oleh: Inku Hikari 



Ada banyak hikmah terserak di setiap perjalanan menyisir ibukota, Jakarta. 

Seperti biasa, siang hari saya menjemput anak pulang sekolah. Mata saya menatap nenek tua yang berjalan sambil duduk tanpa alas kaki. Dia menyeret tas hitam kumal berisi plastik dan pakaian.

Awalnya saya tidak terlalu memperhatikan, mungkin dia memang tinggal di daerah sekitar sekolah anak saya.
Namun setelah saya tiba di depan gerbang sekolah pikiran saya berubah.

Seorang pria menghampirinya karena iba.

"Kasian ibu ini, nyasar nyari rumah ibunya." Pria itu memberi tahu saya.

"Ibu rumahnya dimana?"

Sayang, dia tidak jelas menjawab seperti orang kebingungan. Saya menduga dia sudah pikun, bola matanya kelabu, tubuh kurus kering, tidak kuat berdiri. Usianya kira-kira 80 tahun lebih.

"Saya mau cari rumah ibu saya, di Bungur. Deket kontrakan," jawabnya.

Sebuah pertanyaan melintas di dalam hati, "Apa benar ibunya masih hidup? Dia saja sudah sangat tua ... atau mungkin ingatannya sudah menurun."

Dalam keadaan bingung, guru anak saya menghampiri nenek tua itu.

Dia berusaha menenangkan nenek yang sedang kebingungan.

"Ibu sudah makan?" tanyanya lembut.

"Makan apa Neng? Dari tadi belum makan, saya cuma mau nyari rumah ibu saya."

Melihat nenek itu sudah berada di tangan yang tepat, saya berpamitan, awalnya dia tidak mau saya tinggal. 

"Aduh ... ditinggal sendirian." Mata kelabunya memancarkan kesedihan.

Saya berusaha meyakinkan bahwa dia akan baik-baik saja.

"Ini guru anak saya Bu, Ibu tunggu di sini ya."

Sementara itu guru anak saya masuk ke sekolah untuk mengambil makanan.

Dari jauh saya memandang nenek itu sembari berpikir, apa yang terjadi jika yang hilang dan tersesat orang tua saya sendiri?

Bayangan ayah yang telah lansia melintas di benak saya. Sepanjang perjalanan pulang, anak saya berkata, "Mi, kasian ya nenek itu ga bisa pulang."

Saya tersenyum mendengar kalimat polos dari mulut mungilnya. Saya hanya bisa berdoa semoga nenek tua itu segera bertemu dengan keluarganya.

Jakarta, bagi sebagian orang terkesan mengerikan, penuh persaingan, dan hidup serba tergesa-gesa.
Namun di sudut ibukota masih  ada orang yang memiliki hati nurani. Menunjukkan sejumput empati, meskipun sekedar bertanya, Ibu sudah makan?

Peradaban Tidak Dibangun di Atas Kemewahan

Umar menangis. Dilemparkannya pandangan ke sekeliling rumah nan sederhana, kosong melompong. Padahal pemiliknya gubernur dari daerah yang terkenal makmur. 

Syam ditaklukan oleh pemimpin bersahaja bernama Abu Ubaidah, orang terpercaya dari kalangan umat ini.
Pemandangan itu sangat membekas di hati Umar. Dia berkata, "Semua dari kita telah diubah oleh dunia, kecuali Abu Ubaidah."

Tidak hanya Abu Ubaidah, kesederhanaan juga milik Salman Al-Farisi. Dia pemuda yang mencari kebenaran Islam dalam waktu dan perjalanan yang panjang. Berkelana dan berpindah-pindah guru hingga akhirnya bertemu Rasulullah SAW.

Suatu ketika Salman hendak membangun rumah. Dipililah tukang bangunan yang bijaksana. Tukang itu tahu selera Salman. Bagi pria yang berasal dari Persia itu rumah hanyalah sebatas kebutuhannya untuk berteduh dan mengistirahatkan badan, bukan gaya hidup.

Tukang itu berkata, "Tuan jangan khawatir. Rumah ini bisa digunakan untuk bernaung dari terik matahari dan berteduh dari hujan. Jika Tuan berdiri, kepala Tuan akan sampai ke atap, dan jika Tuan berbaring, kaki Tuan akan menyentuh dindingnya."

Dari rumah seperti itulah lahir generasi terbaik.

Jika kita menengok sisa-sisa peradaban terdahulu kita dapati bahwa kemegahan bukan tolak ukur kemajuan sebuah bangsa.

Lihatlah kaum Ad, kota mereka bernama Iram dengan pasak-pasak yang tinggi. Kita bisa mengingat sejarah tentang piramida di Mesir dengan segala kecanggihan teknologi pada zamannya. Toh hari ini semua kehebatan itu  tinggal masa lalu. 



Melihat Rumah Kita Hari Ini

Sama halnya seperti Masjid, rumah juga memiliki fungsi. Bukan hanya Masjid yang perlu dimakmurkan.
Inilah sebab mengapa Rasulullah SAW memerintahkan kita untuk melakukan ibadah di dalam rumah.

Sabda Rasulullah saw, ”Lakukanlah shalat-shalat kalian di rumah-rumah kalian dan janganlah engkau menjadikannya kuburan.”

Melakukan ibadah-ibadah sunnah yang tidak disyariatkan di Masjid menghidupkan rumah kita. Bukan, bukan rumah yang dipenuhi kelalaian yang disukai Allah SWT. Bukan rumah dengan sound sistem yang memperdengarkan musik keras-keras tanpa henti, hatta ketika azan berkumandang. Juga bukan rumah dengan fasilitas home teater yang membuat penghuninya lupa waktu. 

Tapi rumah yang diberkahi, karena ketaqwaan penghuninya, akhlak baiknya. Allah SWT akan menjadikan rumah sebagai tempat pulang yang selalu dirindukan.

Bukankah hari ini kita mendapati rumah yang tak jauh beda seperti neraka? Di dalamnya penuh teriakan dan amarah, keluh kesah berkepanjangan. Padahal tak kurang sesuatu apapun.

Hari ini kita dapati rumah-rumah yang dingin, hangatnya selimut mahal tidak bisa menggantikan kehangatan keluarga. Saat anak-anak itu pulang ke rumah mereka terpaksa menelan kecewa. Tak ada ayah atau ibu, hanya pengasuh, televisi, gadget, dan internet. Semua fasilitas itu tak cukup membuat mereka puas.

Kemana mereka berlari? Padahal dari rumahlah seharusnya tercetak generasi muslim penerus yang dididik langsung oleh ayah dan ibunya. Rumah berfungsi sebagai madrasah pertama.

Jika semua orang pergi meninggalkan pos penjagaan, maka siapa yang akan mendidik mereka? Apakah pengasuh? Padahal mereka terbentuk dari sperma ayahnya dan ovum ibunya. Mereka terlahir dari rahim ibu kandung, bukan pengasuh. Sudah seharusnya pengasuhan anak tidak di over kontrak.

Tidak penting seberapa megah dan mewahnya fasilitas yang tersedia di rumah kita, bukan kemewahan yang menjadi landasan membangun generasi berbobot.

Mari mencontoh Umar bin Abdul Aziz. Dia memiliki 11 anak. Ketika wafat hanya meninggalkan warisan 18 dinar. Itu pun masih dikurangi lima dinar untuk membeli kafan dan empat dinar untuk membeli tanah makam. Sisanya sembilan dinar dibagi kepada semua ahli warisnya.

Sementara Hisyam bin Abdul Malik meninggalkan warisan untuk anak-anaknya satu juta dinar.

Ironis, salah satu anak Hisyam mengemis di pasar sepeninggalnya, sementara anak Umar bin Abdul Aziz bersedekah 100 ekor unta untuk jihad fii sabilillah.

Maka apa yang membedakan anak-anak itu? Tak lain bekal yang telah disiapkan oleh orang tuanya. Umar bin Abdul Aziz membekali anak-anaknya ketaqwaan pada Allah SWT, bukan kekayaan dan kemewahan. Itu semua berawal dari rumah.


Focus Private

Les Privat

Les Privat Focus Private adalah lembaga pendidikan yang mengkhususkan diri sebagai spesialis les privat guru ke rumah untuk mata pelajaran eksakta yaitu Matematika, Fisika, dan Kimia. Info 082312091982
Diberdayakan oleh Blogger.

Popular Posts

Total Tayangan Halaman