"Perempuan itu separuh dari sebuah bangsa. Bahkan separuh
yang paling mempengaruhi dan memberi peran besar bagi hidupnya suatu
bangsa."
(Hasan Al-Bana)
Wanita itu bernama Lathifah Husain Ash Shuli, wanita
beruntung yang medapat pinangan tak lama setelah calon ibu mertua
mendengar lantunan syahdunya saat membaca kalam Ilahi.
"Duhai, siapakah pemilik suara nan syahdu ini?" Calon ibu mertua bertanya-tanya dalam hati.
Rupanya wanita yang memiliki anak lelaki yang sholeh dan
giat berdakwah itu tidak mampu menahan rasa penasaran. Dia bertanya pada
keluarga Lathifah.
"Itu suara salah satu putri kami, Lathifah," jawab keluarga Ash Shuli.
Dibuat terkagum-kagum ibunda sang pria, terbayang di
benaknya air muka Lathifah yang berseri-seri karena pancaran keimanan
dari lubuk hati yang terdalam.
Tak lama setelah peristiwa itu, datanglah sang pria bersama keluarganya dengan niat melamarnya.
Hanya perlu waktu dua bulan, mereka duduk di pelaminan.
Barakallahu lakuma wa barakallah alaikuma wa jama'a bainakuma fii
khoiiir.
Lathifah sadar betul, pria yang saat itu menjadi suaminya
bukan pria biasa. Dia milik umat. Pria yang namanya kini terus dikenang
dalam sejarah tertoreh di hati umat Islam. Dialah Hasan Al-Bana.
Kesibukan Hasan Al-Bana yang luar biasa membuat Lathifah
tetap tinggal di rumah. Menjaga dan mendidik anak-anaknya sepenuh hati.
Dia bak prajurit yang gigih menjaga bentengnya.
Wanita hebat itu telah memberi ketenangan di hati Hasan Al-Bana karena dia yakin anak-anaknya berada di tangan yang tepat.
Ukhtifillah, bukan tidak boleh wanita beraktivitas dan
berdakwah di luar rumah. Istri Hasan Al-Bana lebih memilih tinggal di
rumah menjaga anak-anaknya karena kesibukan Hasan Al-Bana yang luar
biasa. Jika semua orang pergi meninggalkan benteng maka siapa yang akan
menjaganya?
Kita boleh beraktivitas di luar rumah dengan syarat tidak
melalaikan tugas dan tanggung jawab di rumah. Menuntaskan amanah di
rumah sebelum amanah dakwah di luar. Karena kita punya tanggung jawab yang besar.
Kita Punya Tugas Mulia, Mengembalikan Anak pada Al-Qur'an
Telah berlalu beberapa generasi. Waktu berjalan dan zaman
terus bergulir. Masa-masa keemasan telah lewat, dan sejarah akan
diingat.
Siapa yang tidak mengenal kitab Al-Muwaththa’? Kitab fenomenal yang diakui oleh Imam Syafi'i sebagai kitab yang banyak manfaatnya. Malik bin Anas yang menyusunnya, atau kita sering menyebutnya dengan sebutan Imam Malik.
Di balik sosok besar, pasti ada ibu yang hebat. Imam Malik mengisahkan tentang masa kecilnya, "Pada masa kecil, aku sangat menyukai penyanyi. Ibu tahu aku
sangat gandrung dengan nyanyian, tapi dia merasa teladan yang
kuidamkan tidak benar. Dia memalingkan aku dari
lagu-lagu dan berpesan, "Seorang penyanyi, jika ia buruk rupa, maka
lagunya tidak akan dilihat dan didengarkan. Karena itu tinggalkanlah
lagu dan tuntutlah ilmu fiqih!"
Imam Malik mendapat banyak bimbingan dari ibunya.
Ukhtifillah, selain faktor lingkungan dan pergaulan, ibu memiliki peran besar dalam mencetak anak-anak Qur'ani. Dalam sebuah program acara penghafal Qur'an cilik, Bachtiar
Nasir berkata, "Rata-rata peserta di hafiz Qur'an ibunya sendiri yang
mengajarkan."
Dalam kesempatan lain dia berkata, "Katakan pada istrimu! Tetap tinggal di rumah dan kembalikan anak pada Al-Qur'an."
Tanggung Jawab Itu Ada di Pundak Kita
Kelak kitalah yang akan diminta tanggung jawabnya. Ibu yang di rahimnya telah Allah titipkan makhluk mungil tak berdosa.
Anak kita bukan anak kakek nenek, apalagi pembantunya.
Kitalah baby sitter pilihan Allah SWT. Maka tugas pengasuhan tidak boleh
dipindah tangan.
Saat ini banyak fenomena anak 'yatim piatu' padahal kedua
orang tuanya masih hidup. Mereka anak yang diabaikan,
jiwanya kosong, merasa kesepian di tengah keramaian.
|
Keluarga yang hangat dan penuh kasih sayang tempat anak mendapat perlindungan.(www.yana8nurel6bdkbaik.deviantart.com) |
|
|
Fenomena ini telah diketahui sejak beberapa tahun yang
lalu. Seorang remaja datang kepada Elly Risman mencurahkan kegelisahan
hatinya.
Generasi galau yang rapuh. Seharusnya rumah menjadi
tempat penawar dahaga, ada ayah yang perhatian dan ibu yang penuh kasih
sayang. Pelukan hangat dan perbincangan renyah di malam hari.
Momen yang mungkin sangat dirindukan anak kita, tapi apa
daya. Mereka harus kembali menelan kekecewaan karena hanya mendapati
rumah yang sunyi, dingin. Hanya ada pembantu tanpa kehadiran orang tua.
Ukhtifillah, bagaimana kelak kita menjawab pertanyaan Allah karena meninggalkan generasi yang lemah dan rapuh?
Keluarga Benteng yang Terakhir
LGBT sedang berada di puncaknya. Bermula ketika bendera
pelangi berkibar, merayakan kemenangan atas disahkannya pernikahan
sejenis di AS.
Tenggorokan seperti tercekik. Cemas dengan masa depan anak kita di tengah kerusakan masif yang merajalela.
Kini media telah menjadi corong tersebarnya perilaku menyimpang itu. Televisi, radio, media sosial, media elektronik, dan media cetak.
Beberapa waktu lalu kita sempat dikejutkan dengan kemunculan komunitas LGBT yang beranggotakan anak usia remaja. Mereka tidak lagi malu menunjukkan orientasi seksnya yang menyimpang di media sosial. Tidak hanya remaja, pemikiran dan perilaku LGBT juga menyasar anak-anak.
Kartun menjadi pintu pertama mengenalkan LGBT
pada anak. Mereka juga masuk melalui games hingga kurikulum sekolah.
Tidak main-main kerasnya perjuangan mereka. Saat ini mulai terlihat hasilnya, ditandai dengan kemunculan generasi Alay. Laki-lakinya 'melambai' wanitanya jantan.
Pornografi juga menyelinap dengan mudah ke rumah kita melalui gadget. Di tengah-tengah dahsyatnya tantangan zaman, keluarga
menjadi benteng terakhir yang bisa menjaga anak kita dari nilai-nilai
yang buruk.
Ukhtifillah, sudah saatnya kita pulang. Janganlah
marah ketika suami meminta kita tinggal di rumah. Membantu perekonomian
keluarga tidak harus meninggalkan rumah. Ada banyak jalan. Biarkan suami berkata dengan gagah, "Biar abi aja yang cari duit."