Untukmu Ananda Tercinta

Nak, jika kami tidak berdekat-dekat dengan Allah, bagaimana cara kami mendidikmu? Padahal Allah yang membolak-balikan hati kecilmu.

Teringatlah Ummi saat Fudhail bin Iyadh bersimpuh di hadapan Allah Ta'ala, ada kelelahan yang membuat dadanya sesak, tatkala upaya sepenuh hati telah dikerahkan dalam mendidik ananda, namun hasil yang diharapkan tak nampak jua. Terbayang di benaknya wajah ananda tercinta, ada kesedihan mendalam saat membayangkan nasib ananda di akhirat kelak jika Allah tidak memberi pertolongan.

Dia adukan semua pada Rabb yang Maha Mendengar. Dia menadahkan tangan ke langit berdoa, sembari terus memperbanyak ibadah, lalu berkata,"Ya Allah, aku sudah putus asa mendidik anakku. Ya Allah, didiklah dia untuk diriku".



Ummi dan Abi bukanlah orang sesholeh Fudhail bin Iyadh

Kami sering kali dilalaikan oleh dunia, kasih sayang kami tipis, bahkan belum semua hakmu mampu kami penuhi dengan sempurna.

Maafkanlah kekurangan Ummi dan Abimu ini, Nak. Namun di balik itu semua betapa besar harapan kami pada Rabb yang menitipkanmu agar Dia selalu menjaga dan membimbing setiap langkahmu.

Bukan, bukan Ummi dan Abi yang mampu melindungimu 24 jam apatah lagi hingga seumur hidup. Mungkin usia Ummi dan Abi tak cukup membersamai kehidupanmu.

Maka kepada siapa kami harus meminta keselamatan untukmu dunia dan akhirat? Tidak ada yang bisa dipinta selain Allah.
Nak, nasab kita akan terus tersambung hingga ke akhirat. Ummi dan Abi hanya bisa berdoa dan memohon agar kita tidak menjadi orang yang saling menuntut di hari perhitungan.

Di Wajahmu Ada Fitnah

Seseorang tak dikenal mengirim pesan via WA.

"Namanya siapa?" tanya orang di ujung sana.

Tidak langsung saya jawab. Diam-diam saya cek profil WA-nya. Ternyata dia anggota grup WA majelis ilmu yang saya ikuti.

"Ini ikhwan atau akhwat?" tanya saya curiga.

"Ikhwan," jawabnya.

Tanpa pikir panjang saya laporkan pada admin grup untuk tabayun, karena seharusnya grup itu khusus untuk akhwat.

Dalam hitungan menit orang tersebut dikeluarkan dari grup.

Saya termangu, kenapa bisa ditimpa fitnah semacam ini? Barulah saya sadar, beberapa hari yang lalu saya mengganti foto profil WA dengan foto pribadi.

Tidak ada yang aneh, hanya foto kesayangan saat menggendong anak dengan latar belakang Masjid Al-Aqsha.
Saat memajang foto itu tidak ada prasangka buruk yang melintas di dalam hati.

Saya merasa aman karena berpikir tidak akan ada yang mengganggu. Lagipula siapa yang mau mengganggu wanita yang sudah punya anak?



Tapi pikiran saya salah, foto yang sangat sederhana itu -tanpa mulut dimonyongkan, riasan wajah, dan kerlingan mata- sudah cukup mendatangkan fitnah.

Tiba-tiba saya teringat saat berselancar di dunia maya, mengunjungi rubrik-rubrik konsultasi masalah keluarga.
Seorang istri menumpahkan isi hatinya. Dia sering bertengkar dengan suaminya, karena suaminya memiliki hobi yang tidak lazim, yaitu menyimpan foto-foto wajah wanita Asia. Ya, hanya wajahnya.

Sang istri dilanda kecemburuan yang amat sangat, kepada wanita-wanita yang tidak dia kenal di dunia nyata.
Wanita-wanita yang memajang foto di dunia maya bisa saja tidak berniat buruk, mereka hanya ingin eksis dengan kecantikannya, ingin diakui dan dipuji.

Tapi jika mereka tahu dampak yang ditimbulkan, seharusnya mereka berpikir seribu kali jika ingin memajang foto di dunia maya.

Mungkin ini terkesan berlebihan, namun faktanya ada rumah tangga yang hancur bermula dari foto wanita yang bertebaran di dunia maya.

Dunia Hanya Permainan


Oleh: Inku Hikari

"Apa makna tiga puluh tahun untukmu?" Pertanyaan itu mengisi relung hati. Tepat di hari usia saya berkurang satu tahun.

Apa maknanya? Sepintas sebisik suara hati menjawab, "Sudah di tengah jalan, bisa jadi lebih lama atau justru lebih cepat."

Tidak lama. Sebentar saja, rasanya baru kemarin saya menangis merengek pada ibu minta dibelikan mainan, sepertinya belum lama menapaki masa remaja saat dibuat mabuk kepayang oleh virus merah jambu, mengingat momen ketika duduk di pelaminan, hamil dan melahirkan.

Semua berlalu begitu saja. Dulu ketika kecil ada banyak keinginan yang saya anggap besar, ketika remaja menganggap penting penerimaan kelompok, penampilan dan lain-lain. Setelah dewasa panjang angan-angan tentang hidup berumah tangga. Keinginan manusia memang lebih panjang dibandingkan usianya.
Tapi, ada masanya saya sadar bahwa waktu yang tersisa semakin sempit.

Allah SWT sudah mengirim peringatan. Tepat di usia 26 tahun saat Maila masih belum genap usia setahun, sehelai uban tumbuh di kepala saya.

Kondisi fisik pun mulai menurun, terutama setelah melahirkan anak. Ada kalanya dada kiri seperti ditusuk jarum.

Saat itu saya sadar, kebersamaan dengan anak dan suami tidak akan lama. Hanya sementara. Lantas apa yang saya cari dari sebuah pernikahan? Kebahagiaan? Rasanya bukan, toh saya akan meninggalkan semua itu.

Dulu ada banyak hal yang saya anggap penting, tapi rupanya waktu telah mengubah cara saya memandang kehidupan. Semakin berkurang usia, semakin banyak hal yang dirasa tidak penting.

Hanya satu yang penting, bekal persiapan saya pulang ke kampung akhirat.

Hud-Hud Si Burung

Oleh: Inku Hikari



Hud-Hud tidak pernah menyangka, kisahnya diabadikan di dalam kitab yang sangat mulia.

Namanya terukir, menjadi pelajaran berharga umat manusia hingga akhir zaman.

Semua berawal saat Hud-Hud terbang melintasi Negeri Saba. Hati kecilnya bergolak dipenuhi kecemburuan, saat melihat bukan Allah, Rabbnya tercinta yang disembah kaum Saba.

Si kecil Hud-Hud bergegas mendatangi tuannya, Sulaiman. Dia membawa kabar berita yang mengusik hati nuraninya.

Sang tuan tidak tinggal diam, akhirnya kaum Saba mengenal siapa Rabbnya pencipta alam semesta.
Melalui perantara Hud-Hud, cahaya datang kepada kaum Saba. Upaya kecilnya dihargai Allah SWT sedemikian besar.

Asal ikhlas, tidak kecil di mata Allah. Sekecil apapun peran yang dilakukan untuk menjadi perantara kebaikan orang lain-asal ikhlas- menjadi besar di mata Allah.

Beruntungnya kamu, wahai Hud-Hud.

Qana'ah


Oleh: Inku Hikari

"Hidup berdasarkan kebutuhan lebih ringan dan menenangkan, dibandingkan hidup atas dasar keinginan."
-Inku Hikari-



Hutang memang memberatkan, lilitannya keras mencekik leher. Saya memabayangkan berat beban yang harus dipikul orang berhutang yang tidak mampu membayarnya. Padahal Rasulullah SAW sudah mewanti-wanti umatnya tentang masalah yang besar ini.

Hutang bukan hal sepele, sekecil apapun jumlah yang dipinjam. 

“ Barangsiapa yang mati dalam keadaan masih memiliki hutang satu dinar atau satu dirham, maka hutang tersebut akan dilunasi dengan kebaikannya (di hari kiamat nanti) karena di sana (di akhirat) tidak ada lagi dinar dan dirham .” (HR. Ibnu Majah).

Itulah hari ketika dinar dan dirham tidak berlaku. 

Jika saja kita mau memikirkannya, kita pasti rela mengalahkan keinginan untuk memiliki sesuatu dengan cara berhutang.

Mari belajar dari generasi terbaik, mereka orang yang sangat pandai mengendalikan keinginan.
Tidak sulit bagi Abu Ubaidah untuk bermegah-megah, dia Gubernur Syam, wilayah yang subur dan kaya pada masanya. Gajinya lebih dari cukup. Tidak sulit bagi Abu Ubaidah untuk hidup nyaman.

Namun kenyataan itu tidak kita dapati, Umar menangis terharu melihat kesederhanaan Abu Ubaidah.
Qana'ah terhadap dunia menjadi ciri generasi panutan sepanjang masa. Mereka mencukupkan diri dengan kurma dan roti kering yang dicelupkan ke air. 

Abdurrahman bin Auf, harta ditangannya menjadi penuh keberkahan. Dia saudagar kaya yang hatinya tidak tergadaikan oleh dunia. Lihat bagaimana dia bersikap dan berpenampilan! Tak bisa dibedakan dengan pelayannya.

Sementara kita di hari ini seperti orang kebanyakan, mempersulit diri karena memiliki keinginan yang melampaui batas kebutuhan.

Terus berjibaku memeras kerigat untuk membayar hutang dan hidup dalam lingkaran cicilan.
Rumah yang lama masih dalam keadaan layak, tapi kita ingin yang lebih besar, lebih indah, padahal kita tidak membutuhkannya.

Mobil yang dulu masih bisa digunakan, anak pun belum bertambah, tapi kita ingin merasakan nikmatnya mobil keluaran terbaru. Lantas mulailah berhutang demi kemewahan yang sebenarnya tidak sesuai kebutuhan.

Bekerja membanting tulang sampai remuk redam karena mengejar target membayar hutang sekaligus memenuhi hajat hidup.

Padahal jika qana'ah kita miliki, hidup akan terasa lebih ringan dan menenangkan.

Sampai kapan kita akan terus terjebak dalam kondisi ini? Al-Qur'an menggambarkannya dengan sangat indah.

“ Bermegah-megahan telah melalaikan kamu, sampai kamu masuk ke dalam kubur. Janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui (akibat perbuatanmu itu), dan janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui. Janganlah begitu, jika kamu mengetahui dengan pengetahuan yang yakin, niscaya kamu benar-benar akan melihat neraka Jahiim, dan sesungguhnya kamu benar-benar akan melihatnya dengan ‘ainul yaqin. kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan (yang kamu megah-megahkan di dunia itu). ” (QS. At Takatsur: 1-8).

Hikmah Terserak di Rumah Sakit

Rumah sakit tempat yang penuh hikmah. Ada pelajaran tersirat yang Allah SWT sampaikan jika mau mengambil pelajaran.

Beberapa hari terakhir Allah SWT berkehendak saya menginjakkan kaki ke tempat itu. Maila sakit dan harus berobat.

Hari itu saya duduk di ruang tunggu, sembari mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan. Rata-rata pasien yang datang dari kelas ekonomi menengah ke atas. Ada hal yang menarik.

Pemandangan pertama, seorang ibu muda, cantik seksi dengan celana hot pants, datang dengan dua anak laki-lakinya yang ditemani pengasuh.

Sekilas saya perhatikan, ibu cantik itu asyik masyuk dengan gadget. Sementara dua anaknya berlari-lari di ruang tunggu. Mbak pengasuh tergopoh-gopoh mengejar dengan semua peralatan 'tempur' di ranselnya.
Dia lebih mirip ibu anak-anak itu, saat mereka membutuhkan sesuatu bukan mamanya yang didatangi tapi pengasuh.

"Mau makan?" tanya pengasuhnya lembut sembari mengeluarkan kotak bekal.

Anak-anak itu duduk lalu makan dengan lahap. Setelah saya selesai dan mengantri di kasir, ibu cantik itu masih saja sibuk dengan gadget. Padahal sudah satu jam lebih saya mengantri.

Pemandangan kedua, seorang ibu hijaber tengah duduk menelepon berjam-jam. Anak laki-lakinya yang kira-kira berusia 10 tahun terlihat seru sendiri bermain game di gadget miliknya. Tidak ada interaksi diantara mereka berdua.

Setelah ibu hijaber puas menelepon. Dia hendak menaruh gadgetnya ke dalam tas. Dan betapa terkejutnya dia saat mendapati tasnya basah kuyup.

"Duh, kamu sih Dek. Tas mama basah nih!" Dia mengeluarkan botol air mineral yang ternyata tidak rapat ditutup.

Anaknya hanya diam saat dimarahi lalu sibuk kembali bermain game.

Pemandangan ketiga, tiga orang kakak beradik yang usianya dekat-dekat. Mereka menunggu ibunya menyelesaikan urusan administrasi.

Anak yang paling besar mungkin masih SD, adiknya kira-kira usia empat tahun dan yang paling kecil masih di kereta bayi.

Saya perhatikan dua anak itu, mereka berlarian sambil menggenggam benda hitam kecil bernama gadget. Sesekali mereka memainkan, sesekali perhatiannya beralih.

Ada hal yang mengganggu pikiran saya. Ada apa dengan keluarga-keluarga ini? Saya miris saat gadget menjadi benda yang mengikis kedekatan hubungan orang tua dengan  anak.

Padahal masa anak-anak tidak akan bisa diulang. Kelak orang tua akan merindukan masa-masa itu, ketika anak beranjak dewasa dan berkeluarga, mereka akan sibuk dengan urusannya sendiri.



Mereka akan semakin mandiri dan tidak terlalu membutuhkan orang tua. Saat itu orang tua sadar telah kehilangan momen-momen emas. Mereka kesepian di masa tua karena di masa mudanya tidak berusaha mengisi hati anak dengan kasih sayang hingga kelak di masa dewasa anak itu ingat betapa sayangnya ibu dan bapak pada mereka. Bukan salah anak-anak itu, orang tua sendiri yang telah mengganti posisi dirinya di hati anak dengan gadget.

Jika saat ini anak-anak kita sangat pencemburu dengan alat-alat elektronik, entah tab, laptop, atau gadget, bersyukurlah!

Jika mereka marah saat kita sibuk dengan benda-benda itu lalu berkata, "Ummi Abi ga boleh maen HP!"
Menangislah bahagia, karena itu tanda kitalah yang ada di hati mereka, mereka ingin perhatian dan kasih sayang kita. Bukan gadget tempat mereka mendapat segala kenikmatan.

#JanganKasihAnakGadget
#BijakGunakanGadget

Rumput Tetangga Tak Selalu Lebih Hijau

Aira bersungut-sungut, tubuhnya terasa remuk. Pagi dia sibuk mengurus anak, siang hari berkutat dengan pekerjaan dapur, sementara di malam hari tidak juga bisa istirahat karena membantu anak mengerjakan PR.
Kemana suaminya? Ada di pulau seberang, berkutat menguras keringat demi mencari sesuap nasi. Sebulan sekali suaminya pulang, itu pun tidak lama. Hanya tiga atau empat hari menginap lalu kembali ke tempat kerja.

Setiap kali Aira mengintip jendela, ada kesedihan yang terselip. Melihat rumah nan megah di sebrang jalan. Aira berandai-andai, senangnya menjadi nyonya rumah di sana. Ada suami yang selalu mendampingi, semua kebutuhan terpenuhi, pembantu yang selalu siap bekerja, dan khayalan-khayalan lainnya.

Sementara itu di waktu yang sama, nyonya rumah berpenampilan glamor juga sedang mengintip iri ke arah rumah Aira. Matanya sembab berkantung, sudah semalam suntuk tidak tidur. Dia menangis tanpa henti. Dunia seperti hancur berkeping-keping saat mendapati handphone suaminya penuh SMS mesra.
“Lebih baik miskin kayak tetangga di seberang, mungkin kalau miskin dia tidak akan berkhianat.”

Jika saja Aira tahu penderitaan nyonya rumah tetangganya, dia akan lebih menghargai hidup. Sekalipun suaminya jarang pulang, dia mendapat suami yang setia.

Dan jika nyonya rumah tahu betapa tidak mudahnya membesarkan anak sendirian tanpa sering didampingi suami, dia bisa meredam sakit di hatinya.

Setiap Kurma Ada Bijinya

Setiap kurma ada bijinya, demikian ungkapan yang tertulis di dalam buku Aidh Al-Qarni. Setiap orang pasti punya masalah sendiri. Dunia tempat kita berlelah letih, ditempa ujian. Ada senang ada duka, lapang dan sempit, ketakutan diiringi rasa aman, dan banyak lagi warna-warni kehidupan yang Allah SWT torehkan.

Bahkan para nabi juga diuji. Nabi Nuh diuji dengan anaknya, Nabi Luth dititipkan istri yang durhaka, Nabi Musa menghadapi kaumnya yang sangat keras kepala, sementara Nabi Ayub ditimpa penyakit.

Tiada manfaat melihat kehidupan orang lain -dalam hal duniawi- lalu membandingkannya dengan kehidupan kita. Apa yang tampak belum tentu sama dengan perkiraan kita.

Setiap kurma ada bijinya. Begitu pula dengan kekurangan. Bukankah manusia tempatnya salah dan lupa? Tidak ada manusia yang sempurna, setiap kita pasti punya kekurangan.

Apa guna membandingkan pasangan dengan orang lain? Toh orang yang dibandingkan juga punya kekurangan. Tidak akan puas mata memandang, hasrat dan keinginan manusia lebih panjang dibandingkan usianya. Nafsu itu seperti bayi yang menetek pada ibunya, semakin dituruti makin menjadi-jadi.


Jika Senja Telah Tiba

Jika senja telah tiba. Kita sama-sama menua, berpuluh tahun mengarungi lautan kehidupan. Adakalanya biduk yang kita tumpangi bocor terhempas batu karang. Tak jarang pula kita menikmati indahnya suasana laut tenang.

Ketika rambut telah memutih, tulang rapuh, mata pun rabun. Jangankan mengingat tanggal pernikahan, makan atau mandi saja terlupa. Apa yang kita cari dari sebuah pernikahan? Masa-masa kejayaan telah berlalu. Satu persatu atribut keduniawian rontok: harta, jabatan, popularitas, paras rupawan, hingga kekuatan fisik. Di saat inilah kita diuji. Apakah kebersamaan kita selama ini tulus karena Allah atau karena hal lain?

Selalu ada titik terakhir tempat kita berhenti. Kebersamaan kita di dunia terlalu singkat, ibarat bertemu di pagi hari dan berpisah di siang hari, atau bahkan lebih cepat dari itu. Nikmati saja kebersamaan yang pendek ini, mungkin hari, jam, atau detik ini momen terakhir mata kita saling memandang.

Tak peduli yang tertangkap retina mata rambut putih masai tidak beraturan, gigi yang sudah ompong, atau kulit kusut mengeriput. Meskipun hati bertanya, “Masihkah kau ingat siapa aku?”
Berharap kita tetap berdampingan hingga senja menyapa –jika Allah mengizinkan-

Karena Kita Tak Bisa Sendirian

Karena mendidik anak tidak bisa sendirian, butuh pertolongan Allah dan bantuan orang lain.
Dekatkan anak dengan ulama, masjid, al-qur’an dan orang-orang shaleh. Tidak ada orang tua yang sempurna, kalau toh kita kurang mampu memberi teladan, berharap anak-anak kita diberi petunjuk melalui keteladanan orang lain.

Alkisah ada seorang wanita yang cerdas. Dia bernama Al-Ghumaisho, ibunda Anas bin Malik.
Wanita itu menanamkan bekal terbaik di hati Anas kecil, yaitu kecintaan pada Rasulullah SAW. Tatkala Anas berusia 10 tahun, ibunya membawa Anas kepada Rasulullah SAW, lalu berkata,” “Wahai Rasul, tidak satu pun seorang laki-laki dan perempuan dari Anshar ini, kecuali telah memberi hadiah kepadamu, dan sesungguhnya Aku tidak memiliki apa yang dapat aku berikan kepadamu kecuali anakku ini…. maka ambillah anak ini agar dia dapat membantumu kapan Anda mau.”

Ibunda Anas tahu benar kepada siapa dia menitipkan anaknya. Kepada manusia paling mulia di muka bumi Rasulullah SAW.

Bukan tanpa sengaja, Al-Ghumaisho berharap anaknya mereguk ilmu, meneladani keutamaan akhlak dari sumber yang sangat terpercaya.

Jikalau pada kenyataannya kita terpaksa membesarkan anak di tengah lingkungan yang serba tidak mendukung. La tahzan, jangan bersedih.

Kita bisa belajar dari kisah Nabi Musa. Pada masa awal kehidupannya, dia terpaksa berpisah sementara dari ibunya. Dilarung ke sungai menghindari kekejaman Firaun.

Takdir Allah berkata lain, Nabi Musa justru diselamatkan oleh Asiyah, istri Firaun. Akhirnya dia dibesarkan di dalam kerajaan musuhnya sendiri. Penentang Allah yang melampaui batas. Meskipun begitu Nabi Musa tumbuh menjadi pemuda yang beriman.

Ada kisah lain yang mirip tapi tak sama. Seorang kawan bercerita, dia aktif menggiatkan program sekolah gratis di sebuah desa di daerah Jawa Barat. Sore harinya anak-anak SD itu tidak langsung pulang ke rumah. Mereka menghafalkan Al-qur’an bersama-sama.

Ada satu orang anak yang istimewa, anak itu memiliki ayah yang berprofesi sebagai preman. Tato memenuhi tubuh ayahnya.

Tak dinyana, saat mendengar hafalan Al-Qur’an anaknya, sang ayah menangis tersedu-sedu.
“Saya berantakan gini, kok bisa punya anak baik?” ujarnya tak percaya.

Siapa yang menggenggam hati anak itu sehingga dia mudah menerima ajaran Islam meskipun lingkungannya tidak mendukung? Ada kehendak Allah SWT yang berperan di dalamnya.

“Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Alloh memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Alloh lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk.” (QS Al Qashash: 56).


Maka diantara sekian banyak kekurangan-entah yang berasal dari diri kita sendiri sebagai orang tua atau dari lingkungan sekitar- dalam mendidik anak, ada doa yang tidak terputus. Berharap kelak Allah SWT menjaga anak keturunan kita.

(Tulisan ini telah dimuat di www.ayolebihbaik.com)

Ibu Sudah Makan?

Oleh: Inku Hikari 



Ada banyak hikmah terserak di setiap perjalanan menyisir ibukota, Jakarta. 

Seperti biasa, siang hari saya menjemput anak pulang sekolah. Mata saya menatap nenek tua yang berjalan sambil duduk tanpa alas kaki. Dia menyeret tas hitam kumal berisi plastik dan pakaian.

Awalnya saya tidak terlalu memperhatikan, mungkin dia memang tinggal di daerah sekitar sekolah anak saya.
Namun setelah saya tiba di depan gerbang sekolah pikiran saya berubah.

Seorang pria menghampirinya karena iba.

"Kasian ibu ini, nyasar nyari rumah ibunya." Pria itu memberi tahu saya.

"Ibu rumahnya dimana?"

Sayang, dia tidak jelas menjawab seperti orang kebingungan. Saya menduga dia sudah pikun, bola matanya kelabu, tubuh kurus kering, tidak kuat berdiri. Usianya kira-kira 80 tahun lebih.

"Saya mau cari rumah ibu saya, di Bungur. Deket kontrakan," jawabnya.

Sebuah pertanyaan melintas di dalam hati, "Apa benar ibunya masih hidup? Dia saja sudah sangat tua ... atau mungkin ingatannya sudah menurun."

Dalam keadaan bingung, guru anak saya menghampiri nenek tua itu.

Dia berusaha menenangkan nenek yang sedang kebingungan.

"Ibu sudah makan?" tanyanya lembut.

"Makan apa Neng? Dari tadi belum makan, saya cuma mau nyari rumah ibu saya."

Melihat nenek itu sudah berada di tangan yang tepat, saya berpamitan, awalnya dia tidak mau saya tinggal. 

"Aduh ... ditinggal sendirian." Mata kelabunya memancarkan kesedihan.

Saya berusaha meyakinkan bahwa dia akan baik-baik saja.

"Ini guru anak saya Bu, Ibu tunggu di sini ya."

Sementara itu guru anak saya masuk ke sekolah untuk mengambil makanan.

Dari jauh saya memandang nenek itu sembari berpikir, apa yang terjadi jika yang hilang dan tersesat orang tua saya sendiri?

Bayangan ayah yang telah lansia melintas di benak saya. Sepanjang perjalanan pulang, anak saya berkata, "Mi, kasian ya nenek itu ga bisa pulang."

Saya tersenyum mendengar kalimat polos dari mulut mungilnya. Saya hanya bisa berdoa semoga nenek tua itu segera bertemu dengan keluarganya.

Jakarta, bagi sebagian orang terkesan mengerikan, penuh persaingan, dan hidup serba tergesa-gesa.
Namun di sudut ibukota masih  ada orang yang memiliki hati nurani. Menunjukkan sejumput empati, meskipun sekedar bertanya, Ibu sudah makan?

Peradaban Tidak Dibangun di Atas Kemewahan

Umar menangis. Dilemparkannya pandangan ke sekeliling rumah nan sederhana, kosong melompong. Padahal pemiliknya gubernur dari daerah yang terkenal makmur. 

Syam ditaklukan oleh pemimpin bersahaja bernama Abu Ubaidah, orang terpercaya dari kalangan umat ini.
Pemandangan itu sangat membekas di hati Umar. Dia berkata, "Semua dari kita telah diubah oleh dunia, kecuali Abu Ubaidah."

Tidak hanya Abu Ubaidah, kesederhanaan juga milik Salman Al-Farisi. Dia pemuda yang mencari kebenaran Islam dalam waktu dan perjalanan yang panjang. Berkelana dan berpindah-pindah guru hingga akhirnya bertemu Rasulullah SAW.

Suatu ketika Salman hendak membangun rumah. Dipililah tukang bangunan yang bijaksana. Tukang itu tahu selera Salman. Bagi pria yang berasal dari Persia itu rumah hanyalah sebatas kebutuhannya untuk berteduh dan mengistirahatkan badan, bukan gaya hidup.

Tukang itu berkata, "Tuan jangan khawatir. Rumah ini bisa digunakan untuk bernaung dari terik matahari dan berteduh dari hujan. Jika Tuan berdiri, kepala Tuan akan sampai ke atap, dan jika Tuan berbaring, kaki Tuan akan menyentuh dindingnya."

Dari rumah seperti itulah lahir generasi terbaik.

Jika kita menengok sisa-sisa peradaban terdahulu kita dapati bahwa kemegahan bukan tolak ukur kemajuan sebuah bangsa.

Lihatlah kaum Ad, kota mereka bernama Iram dengan pasak-pasak yang tinggi. Kita bisa mengingat sejarah tentang piramida di Mesir dengan segala kecanggihan teknologi pada zamannya. Toh hari ini semua kehebatan itu  tinggal masa lalu. 



Melihat Rumah Kita Hari Ini

Sama halnya seperti Masjid, rumah juga memiliki fungsi. Bukan hanya Masjid yang perlu dimakmurkan.
Inilah sebab mengapa Rasulullah SAW memerintahkan kita untuk melakukan ibadah di dalam rumah.

Sabda Rasulullah saw, ”Lakukanlah shalat-shalat kalian di rumah-rumah kalian dan janganlah engkau menjadikannya kuburan.”

Melakukan ibadah-ibadah sunnah yang tidak disyariatkan di Masjid menghidupkan rumah kita. Bukan, bukan rumah yang dipenuhi kelalaian yang disukai Allah SWT. Bukan rumah dengan sound sistem yang memperdengarkan musik keras-keras tanpa henti, hatta ketika azan berkumandang. Juga bukan rumah dengan fasilitas home teater yang membuat penghuninya lupa waktu. 

Tapi rumah yang diberkahi, karena ketaqwaan penghuninya, akhlak baiknya. Allah SWT akan menjadikan rumah sebagai tempat pulang yang selalu dirindukan.

Bukankah hari ini kita mendapati rumah yang tak jauh beda seperti neraka? Di dalamnya penuh teriakan dan amarah, keluh kesah berkepanjangan. Padahal tak kurang sesuatu apapun.

Hari ini kita dapati rumah-rumah yang dingin, hangatnya selimut mahal tidak bisa menggantikan kehangatan keluarga. Saat anak-anak itu pulang ke rumah mereka terpaksa menelan kecewa. Tak ada ayah atau ibu, hanya pengasuh, televisi, gadget, dan internet. Semua fasilitas itu tak cukup membuat mereka puas.

Kemana mereka berlari? Padahal dari rumahlah seharusnya tercetak generasi muslim penerus yang dididik langsung oleh ayah dan ibunya. Rumah berfungsi sebagai madrasah pertama.

Jika semua orang pergi meninggalkan pos penjagaan, maka siapa yang akan mendidik mereka? Apakah pengasuh? Padahal mereka terbentuk dari sperma ayahnya dan ovum ibunya. Mereka terlahir dari rahim ibu kandung, bukan pengasuh. Sudah seharusnya pengasuhan anak tidak di over kontrak.

Tidak penting seberapa megah dan mewahnya fasilitas yang tersedia di rumah kita, bukan kemewahan yang menjadi landasan membangun generasi berbobot.

Mari mencontoh Umar bin Abdul Aziz. Dia memiliki 11 anak. Ketika wafat hanya meninggalkan warisan 18 dinar. Itu pun masih dikurangi lima dinar untuk membeli kafan dan empat dinar untuk membeli tanah makam. Sisanya sembilan dinar dibagi kepada semua ahli warisnya.

Sementara Hisyam bin Abdul Malik meninggalkan warisan untuk anak-anaknya satu juta dinar.

Ironis, salah satu anak Hisyam mengemis di pasar sepeninggalnya, sementara anak Umar bin Abdul Aziz bersedekah 100 ekor unta untuk jihad fii sabilillah.

Maka apa yang membedakan anak-anak itu? Tak lain bekal yang telah disiapkan oleh orang tuanya. Umar bin Abdul Aziz membekali anak-anaknya ketaqwaan pada Allah SWT, bukan kekayaan dan kemewahan. Itu semua berawal dari rumah.

Ukhty, Medan Jihad Itu Ada di Dapurmu!

Beberapa waktu lalu anak saya yang baru berusia 4,5 tahun dirawat di rumah sakit. Hasil laboratorium menunjukkan dia menderita typus. Sejujurnya saya merasa bersalah karena lalai menjaga kesehatan keluarga, terutama anak. Penyakit ini biasanya masuk ke dalam tubuh penderita melalui makanan dan minuman yang tercemar juga lingkungan yang kotor.

Memang saya termasuk orang yang senang mengajak keluarga makan di luar, terutama saat libur. Meskipun sudah berusaha memilih tempat makan yang bersih ternyata kemungkinan untuk terinfeksi bakteri Salmonela Typhi masih tetap ada. Apalagi kita tinggal di Indonesia, negara berkembang yang menjadi wilayah endemik bakteri penyebab penyakit typus.

Di lain sisi, saya termasuk ibu yang malas ke dapur. Kebiasaan buruk masa lajang yang masih terbawa setelah menikah. Semasa lajang saya hanya tahu bagaimana caranya meraih IPK tinggi, belajar, dan sibuk dengan aktivitas dakwah di luar rumah. Tugas-tugas rumah tangga seperti memasak, mencuci, dan lain-lain sama sekali tidak tersentuh. 

Dulu pada masa awal menikah saya menganggap pekerjaan rumah tangga tidak terlalu penting. Akibatnya, setelah Allah menitipkan anak saya kelabakan. Bermula ketika anak memasuki masa MPASI. Ketika itu saya pernah salah mengolah makanan sampai akhirnya anak saya diare.

Menyesal? Tentu saja. Saya merasa penyakit anak saya ini merupakan teguran dari Allah SWT supaya lebih serius dan sungguh-sungguh dalam menjalankan tugas-tugas rumah tangga. Kesadaran itu semakin melekat setelah membaca artikel-artikel tentang dampak kesehatan yang harus ditanggung ketika kita tidak profesional dalam memasak dan mengolah makanan. Tidak tanggung-tanggung segala penyakit berbahaya yang jika dibiarkan dapat membahayakan nyawa berawal dari makanan dan minuman.



Memasak Sendiri Lebih Sehat

Ukhty, saya ingin bercerita tentang pengalaman saya saat jajan di luar. Saat itu saya makan di sebuah restoran besar yang sudah memiliki nama. Tempat makannya terlihat bersih dari luar, seperti biasa saya memilih menu favorit.
Lama menunggu, akhirnya makanan itu dihidangkan lengkap dengan lalapannya. Dengan lahap saya santap ayam goreng yang tersaji. Namun seketika itu juga nafsu makan saya hilang saat melihat hewan kecil berwarna putih menggeliat di atas sayur lalapan, apalagi jika bukan belatung namanya.

Rasanya tidak sanggup menelan nasi yang ada di dalam mulut. Kejadian hampir serupa terjadi ketika saya membeli nasi goreng di tempat lain. Ketika sedang asyik-asyiknya makan saya menemukan makhluk kecil bersayap diantara tumpukan nasi goreng. Lalat hijau yang sudah mati ikut tergoreng.

Saya tidak tahu bagaimana ceritanya hewan-hewan itu ada di makanan yang saya pesan. Satu saja pelajaran yang bisa saya petik, memasak sendiri jauh lebih sehat dan bersih.

Memasak Sendiri Terjamin Kehalalannya

Ukhty, meskipun kita hidup di negara muslim terbesar di dunia kehalalan makanan di luar sana masih belum terjamin. Hatta yang berjualan muslim sekalipun, hal ini bisa disebabkan kurangnya pengetahuan mereka tentang makanan dan minuman halal.

Sebagian muslim menganggap yang haram hanya babi, padahal segala makanan dan minuman yang diolah menggunakan alkohol juga termasuk yang diharamkan. Salah satu jenis alkohol yang sering dipakai untuk mengolah makanan adalah arak beras atau ang ciu.

Saya sempat trauma dengan ang ciu. Waktu itu saya mampir ke sebuah warung, yang berjualan memakai jilbab. Iseng-iseng saya tanya, "Bu di sini pake ang ciu ga?"

Dengan jujur dia menjawab, "Iya Mbak, pake, tapi kalo untuk makanan berkuah kita ga pake."

Rasanya seperti tersambar petir di siang bolong, karena makanan itu sudah terlanjur masuk ke perut. Biarpun dia mengatakan tidak semua menu memakai ang ciu tetap saja peralatan memasaknya tercampur baur. Sejak saat itu saya takut makan di sembarang tempat. 

Ukhty, memasak sendiri lebih terjamin kehalalannya. Kita tidak bisa meremehkan kehalalan makanan. Makanan halal memudahkan anak dan suami kita menjalankan ketaatan kepada Allah SWT.

Memasak Sendiri Lebih Hemat

Beberapa hari menunggu anak di rumah sakit, terasa sekali pengeluarannya. Saat itu anak saya dirawat di rumah sakit di daerah Sentul. Tidak banyak tempat makan murah di sana. Hanya ada restoran-restoran dengan standar harga mahal di Giant yang berdiri tepat di samping rumah sakit.

Dalam sehari bisa mengeluarkan biaya 78.000 untuk makan tiga kali sehari. Padahal jika memasak sendiri biaya itu bisa dihemat untuk makan seluruh anggota keluarga.

Ukhty, surga bisa kita cari dimana saja, termasuk di dapur. Dapur medan jihad kita. Tidak ada salahnya menyediakan waktu belajar memasak di tengah-tengah kesibukan kalian. Anggap saja keterampilan memasak sebagai bekal mempersiapkan diri membina rumah tangga.





Ketika Ananda Minta Ganti Mama

  "Seharusnya orang tua lebih banyak mendengar sebelum bicara. Bertanya dan menerima pendapat anak, apa yang mereka rasa, pikir, dan inginkan? Seringkali orang tua mengasuh tanpa memberi kesempatan berbicara pada anak."
(Inku Hikari)

"Aku ga mau punya mama. Maunya ganti mama." Santi menekuk wajahnya. 

Dia masih balita, tapi Santi anak yang pintar. Dia anak yang terbuka dan tidak ragu mengutarakan isi hati kecilnya.

Tentu saja kalimat singkat itu membuat Rani, ibunya tersentak. Dia berusaha menenangkan gejolak hati. Lalu dengan suara pelan dia bertanya, "Emang kenapa kok minta ganti mama?"

"Abis mama suka marah-marah. Santi bosen! Maunya mama yang lain aja."

Kali ini Santi tidak berani menatap mata Rani yang sendu. Ada kesedihan yang terpancar, dia merasa gagal menjadi ibu.

Malam semakin larut jam dinding menunjukkan pukul satu malam. Rani tidak juga dapat memejamkan mata. Terngiang-ngiang di telinganya kalimat Santi.

Mama suka marah-marah. Santi bosen! Maunya mama yang lain aja. 

Tidak terasa tetesan air mata terasa hangat mengalir di pipi Rani. Satu persatu bayang-bayang kesalahan selama mengasuh Santi berkelebat. Seperti film lama yang kembali diputar. Rani sadar, dia tidak sepenuhnya siap menerima kehadiran anak.

Tidak Ada Sekolah untuk Calon Orang Tua

Tidak ada sekolah yang secara khusus mempersiapkan kita menjadi orang tua. Kita belajar mengasuh anak dengan trial and error. Berproses bersama waktu. Sebagian terkaget-kaget karena perubahan drastis. Perbedaan pola hidup saat masih single lalu tiba-tiba menyandang status baru sebagai ibu rumah tangga.

Hal ini semakin diperparah dengan kondisi pengasuhan keluarga masa kini. Para orang tua tidak mempersiapkan anaknya menjadi ayah atau ibu kelak. Mereka lebih mempersiapkan anak-anaknya untuk masuk ke dunia kerja -mungkin kita salah satu produk dari keluarga jenis ini-. Anak perempuan dan anak laki-laki tidak dilibatkan dalam mengambil keputusan di dalam keluarga. Akibatnya setelah dewasa mereka membutuhkan usaha ekstra saat beradaptasi dengan amanah barunya, yaitu membina rumah tangga.

Anak-anak itu tumbuh menjadi orang tua yang hanya siap mencari uang tapi tidak siap mengasuh anak. Cenderung menggunakan cara instan untuk menenangkan tangis anak, mereka mengalihkan tugas pengasuhan pada benda hitam kecil bernama gadget.

Gadget seringkali digunakan orang tua sebagai senjata menghentikan tangis dan rengekan anak
(www.inhabitots.com)
Anak-anak hanya mendapatkan sisa. Sisa waktu, tenaga, dan kasih sayang setelah lelah dengan aktivitas lainnya. Pakar parenting Elly Risman mengatakan, "Saat ini nilai anak di mata orang tua sangat rendah. Mereka hanya mendapat sisa waktu, tenaga, dan kasih sayang."

Semakin siap orang tua menerima kehadiran anak semakin tinggi nilai anak di mata orang tua, semakin anak mendapatkan kasih sayang dan waktu yang berkualitas. Sebaliknya semakin tidak siap, semakin rendah.

Kesalahan Fatal yang Sering Dilakukan Orang Tua Tanpa Sadar

Ketidaksiapan mengasuh anak juga terlihat dari cara orang tua berkomunikasi dengan mereka. Ada banyak kesalahan fatal yang seringkali dilakukan tanpa sadar saat berbicara dengan anak. Padahal cara orang tua berkomunikasi sangat mempengaruhi tumbuh kembang anak. Apakah kelak mereka tumbuh menjadi generasi yang tangguh atau sebaliknya?

Menurut Elly Risman ada 10 kesalahan yang sering dilakukan orang tua saat berkomunikasi dengan anak. Untuk memudahkan mari simak infografis di bawah ini!

(www.istiana.sutanti.com)
Dampak dari kesalahan berkomunikasi nampak saat anak tumbuh dewasa. Mereka menjadi orang yang lemah konsep dirinya, sulit diajak bekerja sama atau justru apatis, tidak percaya diri, tidak berani mengambil keputusan, dan iri hati.

Pada beberapa anak, kekerasan verbal dapat menyebabkan anak menyimpan dendam dan melampiaskannya pada orang lain. Hal ini sesuai dengan pendapat Rudangta Arianti Sembiring Psi yang dikutip dari www.okezone.com, "Kekerasan verbal pada anak bisa berefek buruk hingga membuat mereka balas dendam pada teman atau tetangga terdekatnya."

Kotornya pakaian masih bisa dibersihkan, tapi kekeruhan jiwa anak siapa yang mampu membersihkannya? Setiap kata yang terucap tersimpan dalam ingatan anak, terus menumpuk hingga dewasa. Jika yang terekam hanya kalimat yang buruk kelak mereka memiliki konsep diri yang negatif. Benarlah hadist Rasulullah SAW yang memerintahkan manusia untuk berkata baik atau diam. 

Dari Abu Hurairah radhiallahuanhu, sesungguhnya Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda: Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah dia berkata baik atau diam, siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah dia menghormati tetangganya dan barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaklah dia memuliakan tamunya (Riwayat Bukhori dan Muslim)










Prajurit yang Tetap Tinggal di Rumahnya

"Perempuan itu separuh dari sebuah bangsa. Bahkan separuh yang paling mempengaruhi dan memberi peran besar bagi hidupnya suatu bangsa."
(Hasan Al-Bana)

Wanita itu bernama Lathifah Husain Ash Shuli, wanita beruntung yang medapat pinangan tak lama setelah calon ibu mertua mendengar lantunan syahdunya saat membaca kalam Ilahi.

"Duhai, siapakah pemilik suara nan syahdu ini?" Calon ibu mertua bertanya-tanya dalam hati.

Rupanya wanita yang memiliki anak lelaki yang sholeh dan giat berdakwah itu tidak mampu menahan rasa penasaran. Dia bertanya pada keluarga Lathifah.

"Itu suara salah satu putri kami, Lathifah," jawab keluarga Ash Shuli.

Dibuat terkagum-kagum ibunda sang pria, terbayang di benaknya air muka Lathifah yang berseri-seri karena pancaran keimanan dari lubuk hati yang terdalam.

Tak lama setelah peristiwa itu, datanglah sang pria bersama keluarganya dengan niat melamarnya.

Hanya perlu waktu dua bulan, mereka duduk di pelaminan. Barakallahu lakuma wa barakallah alaikuma wa jama'a bainakuma fii khoiiir.

Lathifah sadar betul, pria yang saat itu menjadi suaminya bukan pria biasa. Dia milik umat. Pria yang namanya kini terus dikenang dalam sejarah tertoreh di hati umat Islam. Dialah Hasan Al-Bana.

Kesibukan Hasan Al-Bana yang luar biasa membuat Lathifah tetap tinggal di rumah. Menjaga dan mendidik anak-anaknya sepenuh hati. Dia bak prajurit yang gigih menjaga bentengnya.

Wanita hebat itu telah memberi ketenangan di hati Hasan Al-Bana karena dia yakin anak-anaknya berada di tangan yang tepat. 

Ukhtifillah, bukan tidak boleh wanita beraktivitas dan berdakwah di luar rumah. Istri Hasan Al-Bana lebih memilih tinggal di rumah menjaga anak-anaknya karena kesibukan Hasan Al-Bana yang luar biasa. Jika semua orang pergi meninggalkan benteng maka siapa yang akan menjaganya?

Kita boleh beraktivitas di luar rumah dengan syarat tidak melalaikan tugas dan tanggung jawab di rumah. Menuntaskan amanah di rumah sebelum amanah dakwah di luar. Karena kita punya tanggung jawab yang besar.

Kita Punya Tugas Mulia, Mengembalikan Anak pada Al-Qur'an
 
Telah berlalu beberapa generasi. Waktu berjalan dan zaman terus bergulir. Masa-masa keemasan telah lewat, dan sejarah akan diingat.

Siapa yang tidak mengenal kitab Al-Muwaththa’? Kitab fenomenal yang diakui oleh Imam Syafi'i sebagai kitab yang banyak manfaatnya. Malik bin Anas yang menyusunnya, atau kita sering menyebutnya dengan sebutan Imam Malik.

Di balik sosok besar, pasti ada ibu yang hebat. Imam Malik mengisahkan tentang masa kecilnya, "Pada masa kecil, aku sangat menyukai penyanyi. Ibu tahu aku sangat gandrung dengan nyanyian, tapi dia merasa teladan yang kuidamkan tidak benar. Dia memalingkan aku dari lagu-lagu dan berpesan, "Seorang penyanyi, jika ia buruk rupa, maka lagunya tidak akan dilihat dan didengarkan. Karena itu tinggalkanlah lagu dan tuntutlah ilmu fiqih!"

Imam Malik mendapat banyak bimbingan dari ibunya. 

Ukhtifillah, selain faktor lingkungan dan pergaulan, ibu memiliki peran besar dalam mencetak anak-anak Qur'ani. Dalam sebuah program acara penghafal Qur'an cilik, Bachtiar Nasir berkata, "Rata-rata peserta di hafiz Qur'an ibunya sendiri yang mengajarkan." 

Dalam kesempatan lain dia berkata, "Katakan pada istrimu! Tetap tinggal di rumah dan kembalikan anak pada Al-Qur'an."
Tanggung Jawab Itu Ada di Pundak Kita

Kelak kitalah yang akan diminta tanggung jawabnya. Ibu yang di rahimnya telah Allah titipkan makhluk mungil tak berdosa.

Anak kita bukan anak kakek nenek, apalagi pembantunya. Kitalah baby sitter pilihan Allah SWT. Maka tugas pengasuhan tidak boleh dipindah tangan.

Saat ini banyak fenomena anak 'yatim piatu' padahal kedua orang tuanya masih hidup. Mereka anak yang diabaikan, jiwanya kosong, merasa kesepian di tengah keramaian.

Keluarga yang hangat dan penuh kasih sayang tempat anak mendapat perlindungan.(www.yana8nurel6bdkbaik.deviantart.com)



Fenomena ini telah diketahui sejak beberapa tahun yang lalu. Seorang remaja datang kepada Elly Risman mencurahkan kegelisahan hatinya.

Generasi galau yang rapuh. Seharusnya rumah menjadi tempat penawar dahaga, ada ayah yang perhatian dan ibu yang penuh kasih sayang. Pelukan hangat dan perbincangan renyah di malam hari.

Momen yang mungkin sangat dirindukan anak kita, tapi apa daya. Mereka harus kembali menelan kekecewaan karena hanya mendapati rumah yang sunyi, dingin. Hanya ada pembantu tanpa kehadiran orang tua.

Ukhtifillah, bagaimana kelak kita menjawab pertanyaan Allah karena meninggalkan generasi yang lemah dan rapuh?
Keluarga Benteng yang Terakhir 

LGBT sedang berada di puncaknya. Bermula ketika bendera pelangi berkibar, merayakan kemenangan atas disahkannya pernikahan sejenis di AS.

Tenggorokan seperti tercekik. Cemas dengan masa depan anak kita di tengah kerusakan masif yang merajalela.

Kini media telah menjadi corong tersebarnya perilaku menyimpang itu. Televisi, radio, media sosial, media elektronik, dan media cetak.

Beberapa waktu lalu kita sempat dikejutkan dengan kemunculan komunitas LGBT yang beranggotakan anak usia remaja. Mereka tidak lagi malu menunjukkan orientasi seksnya yang menyimpang di media sosial. Tidak hanya remaja, pemikiran dan perilaku LGBT juga menyasar anak-anak.

Kartun menjadi pintu pertama mengenalkan LGBT pada anak. Mereka juga masuk melalui games hingga kurikulum sekolah. Tidak main-main kerasnya perjuangan mereka. Saat ini mulai terlihat hasilnya, ditandai dengan kemunculan generasi Alay. Laki-lakinya 'melambai' wanitanya jantan.

Pornografi juga menyelinap dengan mudah ke rumah kita melalui gadget. Di tengah-tengah dahsyatnya tantangan zaman, keluarga menjadi benteng terakhir yang bisa menjaga anak kita dari nilai-nilai yang buruk.

Ukhtifillah, sudah saatnya kita pulang. Janganlah marah ketika suami meminta kita tinggal di rumah. Membantu perekonomian keluarga tidak harus meninggalkan rumah. Ada banyak jalan. Biarkan suami berkata dengan gagah, "Biar abi aja yang cari duit."

Agar Membaca Jadi Hobi Si Kecil

Bacalah dengan (menyebut) nama Rabbmu Yang menciptakan."
(QS. Al-Alaq:1) 

Ketika itu, Jibril datang menghampiri manusia paling mulia, Rasulullah SAW. Gua Hira, menjadi saksi peristiwa bersejarah yang terus dicatat hingga akhir zaman.

"Bacalah!" Perintah Jibril.

Ini kali pertama Rasulullah SAW bertemu dengannya, segala macam perasaan berkecamuk di dada, tidak pernah terbayang dalam benaknya melihat Jibril dalam wujud yang asli.

"Aku tidak bisa membaca," jawab Rasulullah SAW berulang-ulang, sampai akhirnya beliau berusaha membaca.

Lalu turunlah ayat dari Allah SWT Sang Pencipta Alam. “Bacalah dengan (menyebut) nama Rabbmu Yang menciptakan“ (QS. Al-Alaq: 1)

Abi dan Ummi, itulah sepenggal kisah tentang turunnya ayat pertama yang menjadi pintu gerbang masa kerasulan nabi Muhammad SAW. Perintah untuk membaca telah turun sejak ratusan tahun yang lalu. Allah SWT mengajari kita banyak hal melalui aktivitas membaca dengan perantaraan pena.

Alangkah baiknya jika buah hati kita terbiasa dengan aktivitas positif ini. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Universitas London, mereka yang sering membaca pada usia 10 tahun dan telah membaca buku serta surat kabar lebih dari sekali seminggu di usia 16 tahun lebih mampu menguasai kosa kata dibandingkan mereka yang kurang membaca.

Menurut Alice Sullivan, penanggung jawab penelitian, ada kemungkinan kemampuan membaca yang kuat akan memungkinkan anak-anak mampu menyerap dan memahami informasi baru.

Ada beberapa tips yang bisa Abi dan Ummi coba agar anak gemar membaca:

1. Memberi Contoh Terlebih Dahulu

Abi dan Ummi, anak-anak peniru ulung. Mereka tidak akan bisa sama persis seperti diri kita, tapi mereka tidak pernah gagal meniru. Cara paling efektif agar anak suka membaca dengan memberi contoh, menunjukkan kita menyukai aktivitas tersebut.

Tampakkan di hadapannya jika membaca buku sangat menyenangkan. Kita bisa membaca dengan wajah yang ekspresif supaya anak penasaran. Misalnya tersenyum sendiri saat membaca, mengerutkan kening, atau yang lainnya.

Anak akan bertanya, "Kenapa Mi, kok ketawa sendiri?"

Saat itu kita bisa melibatkan anak. Menceritakan ulang isi buku yang kita baca.

Jika kita memiliki koleksi buku, tunjukkan pada anak bagaimana cara kita memperlakukan buku dengan baik. Lalu katakan, "Buku itu barang kesayangan ummi, ummi suka baca buku."
2. Sering Mengajak Anak ke Toko Buku

Ajaklah anak kita ke toko buku, perpustakaan, taman baca, atau sekadar berburu buku bekas. Biarkan anak menyentuh dan membuka buku-buku yang terpajang. Sekali waktu kita bisa menyisihkan uang, membelikan mereka buku yang menarik isinya. Lama kelamaan anak akan terbiasa dengan suasana tersebut, lalu menikmatinya.

3. Menyediakan Waktu Khusus Membacakan Buku

Hanya membeli buku tapi tidak punya waktu khusus membacakannya sama seperti membeli barang tapi tidak dipakai. Membaca buku bersama anak bisa menjadi sarana menjalin kedekatan. Anak-anak membutuhkan waktu yang berkualitas bersama kita. Membaca buku bisa menjadi momen yang tepat.
Agar anak fokus dengan dengan aktivitas membaca, kita perlu menciptakan suasana yang kondusif. Misalnya: mematikan televisi dan menyimpan handphone agar aktivitas membaca tidak terganggu.

Ketika anak menikmati saat-saat membaca dan mendapatkan waktu yang berkualitas, mereka akan menagihnya, lagi dan lagi.

4. Membaca dengan Ekspresi yang Hidup

Abi dan Ummi, anak balita memiliki rentang waktu konsentrasi yang pendek. Mereka cepat bosan. Agar anak tidak segera beralih ke aktivitas lain, kita bisa menyiasatinya dengan cara membaca buku disertai ekspresi yang hidup.

Misalnya, mengubah suara saat membaca tokoh-tokoh yang berbeda, menggunakan gerakan-gerakan, mengekspresikan emosi tokoh cerita, dan lain-lain.

Membaca dengan ekspresi yang hidup dapat melatih imajenasi anak, mereka akan larut dalam cerita dan melupakan kebosanannya.

5. Memilih Buku Sesuai Usia

Anak usia balita sangat tertarik dengan buku bergambar yang berwarna-warni. Kita bisa memilih buku dengan huruf yang tercetak lebih besar dari ukuran normal dengan tulisan yang tidak panjang. Sekali waktu kita bisa memperkenalkan hurufnya satu persatu dengan suasana yang nyaman, tanpa paksaan.

Memilih buku bisa disesuaikan dengan kondisi keuangan keluarga. Tidak harus membeli buku dengan harga yang mahal, buku-buku bekas atau meminjam dari perpustakaan juga bisa menjadi solusi.

Maila Edukatif menyediakan aneka buku berkualitas murah meriah. Pemesanan bisa melalui WA atau SMS ke 0852-8730-1615.

Seri Binatang: Rp. 7000/pcs


Seri Menempel dan Menggunting: Rp. 7000/pcs

Seri Tokoh Dunia: Rp. 7000/pcs


Seri Stella Ernes: Rp. 15.000
Seri Keterampilan: Rp. 10.000

Asisten Rumah Tangga, antara Petaka atau Rezeki

Rasulullah SAW bersabda, “Hikmah itu adalah barang yang hilang milik orang yang beriman. Di mana saja ia menemukannya, maka ambillah.” (HR. Tirmidzi) 

"Aku mau cerai aja Bu! Rasanya jijik sama dia!" Wanita itu menangis terisak-isak di ujung saluran telepon,  menumpahkan semua keperihan hati yang sudah dia pendam selama bertahun-tahun. Hanya ibu dan ayahnya yang tulus mendampingi, mencoba tegar agar ananda tidak rapuh diterjang badai rumah tangga. 

"Sing sabar yo Nak ..." Ibu yang sudah memasuki usia senja itu berucap dengan suara bergetar, air matanya berjatuhan.

Perih hati orang tua saat melihat anak perempuan yang mereka sayangi diperlakukan sedemikian buruk, apalagi saat itu anaknya tengah hamil besar. Dunia seakan runtuh ketika memergoki suaminya sedang mencuci (maaf) celana dalam asisten rumah tangga (ART) yang bekerja di rumahnya. Diam-diam dia membawa barang itu ke laboratorium dan hasilnya membuat persendian tubuhnya seakan lepas satu persatu.

"Piye yo? Nek ora sabar bocahe wis tak suruh cerai ..."
(Bagaimana ya? kalau tidak sabar anaknya sudah kusuruh cerai ...)

"Ah! Wong iku pancen sampah!" Sang ayah geram.
(Ah! Orang itu memang sampah!)

Waktu berlalu, dia mencoba terus bertahan. Ayah dan ibunya berdoa tanpa putus. Allah yang memberi jalan keluar, ART itu akhirnya dipecat. Kabar terakhir yang terdengar ART yang dulu bekerja di rumahnya keguguran, berita santer beredar di sekitar komplek rumahnya. Beberapa saksi mata melihatnya tengah berpacaran dengan tukang ojek yang biasa mangkal di depan jalan.

Allah menggantikan dengan yang lebih baik, tiba-tiba seorang wanita tua datang meminta pekerjaan sebagai ART di rumahnya. Wanita yang santun, sayang dengan anak-anak, menerima gaji seadanya dengan ikhlas, dan baik perangainya. 


Cerita di atas hanya cerita fiksi yang terinspirasi setelah membaca rubrik konsultasi keluarga. Berbagai pernak-pernik kehidupan rumah tangga selalu menarik untuk diangkat.

ART seakan sudah menjadi kebutuhan, apalagi saat suami dan istri memutuskan untuk sama-sama bekerja. Namun memasukkan orang asing ke dalam rumah dan kehidupan kita bukan hal sederhana. Alih-alih menjadi solusi justru mendatangkan masalah.

Kita perlu mempertimbangkannya masak-masak, baik buruknya dan selektif dalam memilih. Saat kita memutuskan untuk mempekerjakan ART-terutama untuk ART yang tinggal menginap di rumah-, kita perlu membuat aturan yang perlu disepakati.

Misalnya, ART menutup auratnya dengan rapi selama berada di dalam rumah, menjaga batasan interaksi dengan anggota keluarga kita yang bukan muhrimnya, meminta izin saat akan masuk ke kamar anggota keluarga, dan peraturan-peraturan syar'i yang lainnya.

Akan lebih aman jika kita memperkerjakan ART yang tidak menginap, hanya setengah hari. Dia bekerja di rumah saat suami bekerja dan anak-anak di sekolah. Sore hari ketika suami dan anak-anak pulang ke rumah, dia sudah menuntaskan pekerjaan lalu kembali ke rumahnya. Interaksi ART dengan keluarga kita lebih terjaga. Di sisi lain privasi keluarga tidak terganggu.

Intinya, mendapat ART yang baik perangainya merupakan rezeki dari Allah, sementara ART yang buruk akhlaknya justru membawa petaka bagi keluarga kita.

Cara Mudah Membunuh Seseorang

“Citra ini udah nulis buku, iya kan Cit?" ucap seorang kawanku pada kawan yang lain.
"Iya Mbak, tapi itu cuma buku iseng-iseng aja," jawabku pelan tertunduk.
"Eh, buku kayak gitu kok iseng-iseng."

Di lain waktu seorang teman menggoda, "Wess, Mbak udah jadi penulis nih! nanti aku jadi asistennya ya." Dia tersenyum sembari bertepuk tangan.

Aku sadar dia hanya ingin menyenangkan hati, tapi sayang aku tak suka. Sambil menunjukkan ekspresi wajah prihatin dengan suara lemah kukatakan padanya, "Jangan ditepokin ..."

Dia tersadar, lalu diam.

Entahlah, ada hal yang sebenarnya sangat aku takuti dari dunia yang kupilih ini, dunia literasi. Aku sangat menyukainya tapi ada kegetiran tersendiri.

Sampai suatu saat aku berkata pada sahabat yang terpercaya, "Mbak, aku mau berhenti menulis."

"Kenapa?" wajahnya menunjukkan rona terkejut, "Kamu harus tetap menulis, gimana mau jadi penulis terkenal?"

"Enggak Mbak, aku ga mau jadi terkenal."

Tidak bisakah aku bebas menggoreskan pena tanpa harus mendatangkan pujian orang lain? Sejujurnya pujian itu seperti narkoba yang menyebabkan kecanduan. Para pecandu pujian akan menuntut dosis pujian yang lebih besar dari sebelumnya, lagi dan lagi. Sampai akhirnya dia mati karena overdosis pujian.

Tidak percaya ada orang yang bisa mati karena pujian? Lihatlah orang-orang yang mengalami gangguan kepribadian Narsisme. Mereka orang yang sangat mencintai dirinya sendiri, gila pujian, menganggap diri besar tanpa cela, meremehkan orang lain hingga pada puncaknya selalu menganggap orang lain iri dengan dirinya. Bukan tubuh yang mati, tapi segumpal daging yang menentukan baik buruknya seseorang.

Pujian membuat seseorang gagal mengenali dan menilai dirinya sendiri. Dia menikmati kesenangan palsu, meyakini hal-hal yang sebenarnya tidak ada pada dirinya.
(Sumber gambar: www.photobucket.com)

Siapa yang tahan di dekat orang-orang semacam itu? Melihatnya saja sudah membuat perut mual.

Benarlah sabda Rasulullah SAW, "Dari Abu Bakrah, ia menceritakan bahwa ada seorang pria yang disebutkan di hadapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu seorang hadirin memuji orang tersebut. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu bersabda,“Celaka engkau, engkau telah memotong leher temanmu (berulang kali beliau mengucapkan perkataan itu). Jika salah seorang di antara kalian terpaksa/harus memuji, maka ucapkanlah, ”’Saya kira si fulan demikian kondisinya.” -Jika dia menganggapnya demikian-. Adapun yang mengetahui kondisi sebenarnya adalah Allah dan  janganlah mensucikan seorang di hadapan Allah.” (HR. Bukhari)

Pujian dan popularitas ujian yang berat, hanya orang-orang kuat yang mampu menghadapinya. Jika sayang dengan saudara seiman tahanlah lidah kita dari memuji di hadapannya. Saudara kita cukup santun, dia tidak akan tega menaburkan pasir di wajah kita saat  memujinya. 

Sebagaimana sabda Rasulullah SAW, "Bila kamu melihat orang-orang yang sedang memuji-muji dan menyanjung-nyanjung maka taburkanlah pasir ke wajah-wajah mereka.” (HR. Ahmad)


Focus Private

Les Privat

Les Privat Focus Private adalah lembaga pendidikan yang mengkhususkan diri sebagai spesialis les privat guru ke rumah untuk mata pelajaran eksakta yaitu Matematika, Fisika, dan Kimia. Info 082312091982
Diberdayakan oleh Blogger.

Popular Posts

Total Tayangan Halaman