Aira bersungut-sungut, tubuhnya terasa
remuk. Pagi dia sibuk mengurus anak, siang hari berkutat dengan
pekerjaan dapur, sementara di malam hari tidak juga bisa istirahat
karena membantu anak mengerjakan PR.
Kemana suaminya? Ada di pulau seberang,
berkutat menguras keringat demi mencari sesuap nasi. Sebulan sekali
suaminya pulang, itu pun tidak lama. Hanya tiga atau empat hari menginap
lalu kembali ke tempat kerja.
Setiap kali Aira mengintip jendela, ada
kesedihan yang terselip. Melihat rumah nan megah di sebrang jalan. Aira
berandai-andai, senangnya menjadi nyonya rumah di sana. Ada suami yang
selalu mendampingi, semua kebutuhan terpenuhi, pembantu yang selalu siap
bekerja, dan khayalan-khayalan lainnya.
Sementara itu di waktu yang sama, nyonya
rumah berpenampilan glamor juga sedang mengintip iri ke arah rumah
Aira. Matanya sembab berkantung, sudah semalam suntuk tidak tidur. Dia
menangis tanpa henti. Dunia seperti hancur berkeping-keping saat
mendapati handphone suaminya penuh SMS mesra.
“Lebih baik miskin kayak tetangga di seberang, mungkin kalau miskin dia tidak akan berkhianat.”
Jika saja Aira tahu penderitaan nyonya
rumah tetangganya, dia akan lebih menghargai hidup. Sekalipun suaminya
jarang pulang, dia mendapat suami yang setia.
Dan jika nyonya rumah tahu betapa tidak
mudahnya membesarkan anak sendirian tanpa sering didampingi suami, dia
bisa meredam sakit di hatinya.
Setiap Kurma Ada Bijinya
Setiap kurma ada bijinya, demikian
ungkapan yang tertulis di dalam buku Aidh Al-Qarni. Setiap orang pasti
punya masalah sendiri. Dunia tempat kita berlelah letih, ditempa ujian.
Ada senang ada duka, lapang dan sempit, ketakutan diiringi rasa aman,
dan banyak lagi warna-warni kehidupan yang Allah SWT torehkan.
Bahkan para nabi juga diuji. Nabi Nuh
diuji dengan anaknya, Nabi Luth dititipkan istri yang durhaka, Nabi Musa
menghadapi kaumnya yang sangat keras kepala, sementara Nabi Ayub
ditimpa penyakit.
Tiada manfaat melihat kehidupan orang
lain -dalam hal duniawi- lalu membandingkannya dengan kehidupan kita.
Apa yang tampak belum tentu sama dengan perkiraan kita.
Setiap kurma ada bijinya. Begitu pula
dengan kekurangan. Bukankah manusia tempatnya salah dan lupa? Tidak ada
manusia yang sempurna, setiap kita pasti punya kekurangan.
Apa guna membandingkan pasangan dengan
orang lain? Toh orang yang dibandingkan juga punya kekurangan. Tidak
akan puas mata memandang, hasrat dan keinginan manusia lebih panjang
dibandingkan usianya. Nafsu itu seperti bayi yang menetek pada ibunya,
semakin dituruti makin menjadi-jadi.
Jika Senja Telah Tiba
Jika senja telah tiba. Kita sama-sama
menua, berpuluh tahun mengarungi lautan kehidupan. Adakalanya biduk yang
kita tumpangi bocor terhempas batu karang. Tak jarang pula kita
menikmati indahnya suasana laut tenang.
Ketika rambut telah memutih, tulang
rapuh, mata pun rabun. Jangankan mengingat tanggal pernikahan, makan
atau mandi saja terlupa. Apa yang kita cari dari sebuah pernikahan?
Masa-masa kejayaan telah berlalu. Satu persatu atribut keduniawian
rontok: harta, jabatan, popularitas, paras rupawan, hingga kekuatan
fisik. Di saat inilah kita diuji. Apakah kebersamaan kita selama ini
tulus karena Allah atau karena hal lain?
Selalu ada titik terakhir tempat kita
berhenti. Kebersamaan kita di dunia terlalu singkat, ibarat bertemu di
pagi hari dan berpisah di siang hari, atau bahkan lebih cepat dari itu.
Nikmati saja kebersamaan yang pendek ini, mungkin hari, jam, atau detik
ini momen terakhir mata kita saling memandang.
Tak peduli yang tertangkap retina mata
rambut putih masai tidak beraturan, gigi yang sudah ompong, atau kulit
kusut mengeriput. Meskipun hati bertanya, “Masihkah kau ingat siapa
aku?”
Berharap kita tetap berdampingan hingga senja menyapa –jika Allah mengizinkan-