Oleh: Inku Hikari
"Apa makna tiga puluh tahun untukmu?" Pertanyaan itu mengisi relung hati. Tepat di hari usia saya berkurang satu tahun.
Apa maknanya? Sepintas sebisik suara hati menjawab, "Sudah di tengah jalan, bisa jadi lebih lama atau justru lebih cepat."
Tidak lama. Sebentar saja, rasanya baru kemarin saya
menangis merengek pada ibu minta dibelikan mainan, sepertinya belum lama
menapaki masa remaja saat dibuat mabuk kepayang oleh virus merah jambu,
mengingat momen ketika duduk di pelaminan, hamil dan melahirkan.
Semua berlalu begitu saja. Dulu ketika kecil ada banyak
keinginan yang saya anggap besar, ketika remaja menganggap penting
penerimaan kelompok, penampilan dan lain-lain. Setelah dewasa panjang
angan-angan tentang hidup berumah tangga. Keinginan manusia memang lebih
panjang dibandingkan usianya.
Tapi, ada masanya saya sadar bahwa waktu yang tersisa semakin sempit.
Allah SWT sudah mengirim peringatan. Tepat di usia 26 tahun
saat Maila masih belum genap usia setahun, sehelai uban tumbuh di
kepala saya.
Kondisi fisik pun mulai menurun, terutama setelah melahirkan anak. Ada kalanya dada kiri seperti ditusuk jarum.
Saat itu saya sadar, kebersamaan dengan anak dan suami
tidak akan lama. Hanya sementara. Lantas apa yang saya cari dari sebuah
pernikahan? Kebahagiaan? Rasanya bukan, toh saya akan meninggalkan semua
itu.
Dulu ada banyak hal yang saya anggap penting, tapi rupanya
waktu telah mengubah cara saya memandang kehidupan. Semakin berkurang
usia, semakin banyak hal yang dirasa tidak penting.
Hanya satu yang penting, bekal persiapan saya pulang ke kampung akhirat.