Ini Kisah Tentang 'Polusi Suara'.

Di sekitar kita ada banyak suara gaduh, deru kendaraan bermotor, mesin-mesin pabrik, dentuman alat musik, hingga gaduhnya suara petinggi negara yang saling berkelahi, melontarkan kata-kata kotor dan komentar penuh sensasi, tidak memberi solusi justru membuat orang jadi sensi. Ah ... apa sih?!

Kenapa kata "polusi suara" hanya disematkan kepada toa Masjid yang sudah tua? Hanya karena memutar kaset-kaset dengan lantunan suara yang syahdu. Entahlah, keindahan suara yang dianggap 'polusi suara' itu mungkin terasa bak kaset rusak yang berdecit-decit. 

Toa Masjid
www.itoday.co.id

Jauh sebelum label 'polusi suara' disematkan, suara nan syahdu itu telah digunakan sebagai sarana terapi kejiwaan di sebuah klinik besar, Florida, Amerika Serikat. Dr. Al-Qadhi melakukan penelitian yang panjang tentang hal itu.

Hasil penelitian membuktikan hanya dengan mendengarkan Alqur'an seseorang merasakan dampak yang luar biasa, baik dia mengerti isinya ataupun tidak. Penemuan dokter ahli jiwa ini membuktikan bahwa mendengar Alqur'an menurunkan tingkat depresi, kesedihan, ketenangan jiwa, dan mengurangi penyakit yang diderita oleh orang yang diteliti.

Hasil penelitian yang dia dapatkan tidak jauh berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Muhammad Salim, Universitas Boston. Beberapa responden diperdengarkan Alqur'an tanpa diberitahu bahwa yang didengarnya lantunan ayat suci Alqur'an, lalu pada sesi kedua mereka diperdengarkan bahasa Arab yang bukan dari Alqur'an. Semua responden tidak memahami bahasa Arab.

Hasilnya 65% responden merasakan ketenangan saat mendengar Alqur'an dan hanya 35% yang merasakan ketenangan saat mendengar bahasa Arab yang bukan dari Alqur'an.

Sudahlah, tidak perlu jauh-jauh menengok mereka. Aku sendiri 'pasien' yang Allah sembuhkan melalui murottal Al-qur'an, suara yang dianggap 'polusi suara' itu yang menemani hari-hariku untuk bangkit dari keterpurukan.

Aku masih ingat saat menjelang senja, duduk sendirian di Masjid At-Tin hanya untuk mendengar suara lantunan Alqur'an sebelum azan Maghrib. Tidak ada yang aku lakukan, hanya duduk termenung dengan pikiran yang seakan berkelahi di kepala. Sejenak, suara nan syahdu itu menjadi terminal peristirahatan, tempatku rehat dari segala kepenatan.

Jika saja kita mau belajar dari sejarah, bahkan Rasulullah Saw. sangat suka mendengar bacaan Alqur'an. 

"Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadaku, “Bacakanlah kepadaku al-Qur’an.” Ibnu Mas’ud berkata: Aku katakan, “Wahai Rasulullah! Apakah saya akan membacakannya kepadamu sementara ia diturunkan kepadamu?”. Beliau menjawab, “Aku senang mendengarnya dari orang selain diriku.” Maka aku pun membacakan surat an-Nisaa’, ketika sampai pada ayat [yang artinya], “Bagaimanakah jika [pada hari kiamat nanti] Kami datangkan dari setiap umat seorang saksi, dan Kami datangkan engkau sebagai saksi atas mereka.” (QS. an-Nisaa’: 41). Aku angkat kepalaku, atau ada seseorang dari samping yang memegangku sehingga aku pun mengangkat kepalaku, ternyata aku melihat air mata beliau mengalir (HR. Bukhar)

Seharusnya kita berkaca diri, apakah kita lebih baik dari Rasulullah Saw. hingga ketika dibacakan ayat-ayat Allah Swt. kita memalingkan muka karena kesombongan, atau jangan-jangan hati kita berpenyakit.



Darah di Rabiah Al-Adawiyah

Shafiyah, gadis Mesir bermata biru dan hidung yang mancung, duduk tertegun di depan laptop. Sudah berulangkali dia memutar video rekaman itu. Suara gemersik pidato Presiden Mursi memecah keheningan siang, di rumah Shafiyah.
   
Al-Qur’an adalah undang-undang kami
Dan Rasul adalah pemimpin kami
Dan jihad adalah jalan kami
Dan mati fii sabilillah adalah cita-cita mulia kami
Dan di atas itu semua, Allah adalah tujuan kami


Pikiran Shafiyah melayang-layang, sudah beberapa hari terakhir dia terus mengikuti perkembangan politik di Mesir melalui berita-berita di televisi. Upaya penggulingan Presiden Mursi sudah beberapa kali dilakukan namun selalu gagal. Situasi semakin memanas, pihak oposisi mulai menggunakan kekerasan.

Bip! Bip! Sebuah pesan singkat masuk ke ponsel Shafiyah. Dia menggapai ponsel itu, membaca pesan yang masuk. Paras cantiknya tampak serius, seakan pesan itu berisi berita yang sangat penting. Lama dia pandangi layar ponsel, diriingi suara riuh rendah pendukung Presiden Mursi yang terdengar dari loadspeaker laptop.

Besok Mursi bebaskan Gaza
Aku orang Mesir bangga dengannya
Jutaan syuhada bergerak menuju Al-Quds
Ayolah wahai perindu syahid!


Shafiyah mengambil nafas panjang, dengan suara lirih dia berujar, “Ya Allah, besok saatnya. Mudahkanlah langkah kaki kami, lindungi kami dari perbuatan orang-orang yang zalim...”

***
sumber gambar: Internet

Ratusan ribu pendukung Presiden Mursi tumpah ruah ke jalan-jalan raya. Salah satu diantaranya Shafiyah, jilbab hitam dan abayanya yang panjang berkibar-kibar. Dia bergabung bersama muslimah yang lainnya melakukan aksi damai sebagai respon menolak aksi kekerasan yang dilakukan oleh oposisi selama beberapa waktu terakhir.
 
Dia menutup wajahnya dengan selembar sapu tangan, panas teriknya Kota Kairo tidak menyurutkan semangatnya. Dia sadar tujuannya turun ke jalan bukan karena membela seorang tokoh, dia mengerti apa yang sebenarnya terjadi dan siapa yang dia hadapi.
 
Para demonstran tanpa senjata itu melakukan aksi damai selama berhari-hari. Mereka mendirikan tenda-tenda untuk bermalam, termasuk Shafiyah. Dia tinggal di sebuah tenda demonstran di dekat bundaran Rabah Adaweyah.
 
Saat itu bulan Ramadhan, Shafiyah tengah bersiap-siap menyiapkan makanan berbuka puasa bersama muslimah yang lain. Di tengah-tengah aktivitasnya, dia mengobrol dengan temannya sesama demonstran.
   
“Apa keluargamu tahu saat ini kamu berada di sini?” Tanya seorang muslimah sambil mempersiapkan roti dan kacang-kacangan.
 
“Ya, aku selalu meminta ijin kepada orang tua... mereka berpesan agar aku berhati-hati. Ayah juga sudah berpesan kepada kakakku Haris, agar dia mengawasiku.”

“Aku tidak tahu sampai kapan akan bertahan di sini, kita akan terus memperjuangkannya... kau lihat ini!” Wanita itu menyingkap lengan bajunya, ada goresan sepidol berwarna hitam bertuliskan identitas diri di lengannya.

“Untuk apa kau lakukan itu?” Tanya Shafiyah

“Kita tidak tahu apa yang akan terjadi nantinya... aku sengaja menuliskannya,  jika sewaktu-waktu aku mati, ada yang mengenali jenazahku.”

Shafiyah diam, terpana. Ditatapnya wanita setengah baya dihadapannya. Sudah lama Sahfiyah mengenalnya, wanita itu hafal seluruh isi Al-Qur’an. Di dalam hati kecilnya, Shafiyah mengagumi ketangguhan dan keshalihannya. Shafiyah menjadi paham, kematian bisa datang kapan saja tanpa diduga. Jika sewaktu-waktu terjadi bentrokan, bukan tak mungkin dia menjadi salah satu korbannya.

“Bolehkah aku pinjam sepidolmu?”

Shafiyah menjulurkan tangannya mengambil sepidol hitam, perlahan-lahan dia gulung lengan bajunya.
   
    Shafiyah Azalea
    43 El Jadid Street, Maadi


Ditutupnya kembali lengan baju itu, dia bergegas membawa makanan untuk berbuka. Suara adzan berkumandang dari Masjid Rabah Adaweyah, di dekat tenda demonstran. Menandakan waktu berbuka puasa telah tiba.

***
   
Malam semakin larut, suasana sangat hening. Sunyi. Shafiyah belum juga tidur, dia mengambil air wudhu dan mulai membaca Al-Qur’an. Bukan hanya Shafiyah yang melakukannya para demonstran di tenda yang lain tengah khusyuk mendirikan shalat malam.

Sementara itu tak jauh dari sana, tentara-tentara bersenjata mengendap-endap menembus gelapnya malam. Mereka menaiki atap-atap imarah atau apartemen, bersiap siaga dengan senjata berpeluru tajam, tank-tank berbaris di tempat tersembunyi, beberapa bersiap siaga dengan gas air mata. Jumlah mereka sangat banyak, mungkin ratusan atau ribuan. Tidak! Bisa saja ratusan ribu.
   
Salah satu diantara mereka adalah Haris, kakak Shafiyah. Matanya menatap tajam. Waspada. Digenggamnya erat senapan M16. Suasana sangat sunyi, hanya terdengar detak jam tangan Haris. Jam menunjukkan pukul 03.00 dini hari. Semua pasukan dalam keadaan siap siaga mengintai target. 

Adzan subuh berkumandang dari Masjid Rabah Adaweyah, para demonstran berbondong-bondong menuju masjid. Mereka membentuk barisan shalat yang lurus hingga ke jalan-jalan. Mereka tampak seperti benteng yang kokoh.

“Allahuakbar...” Imam takbir rakaat pertama.

Lantunan ayat-ayat Al-Qur’an terdengar syahdu, lembut menyapa hati-hati yang masih hidup, 
“Bismillahirrahmanirrahim...Alhamdulillahi rabbil alamin... Arrahmaanirrahiim... Maaliki yaumiddiin...”

Dor! Dor! Suara-suara tembakan diiringi serangan gas air mata menyerang demonstran yang sedang shalat. Shafiyah terhenyak, dia sedang shalat subuh bersama jama’ah muslimah di tenda-tenda. Satu persatu tubuh jama’ah shalat di Masjid Rabah Adaweyah berjatuhan, suasana kacau balau mereka berlari melindungi diri.
 
Shafiyah berlari keluar, matanya perih terkena gas air mata. Dia tak dapat melihat dengan jelas, sekilas dilihatnya seorang kakek tua ditembak kepalanya, orang-orang diciduk dan diseret paksa menuju mobil-mobil tentara. Mereka yang bersembunyi di belakang tong sampah dibawa setelah dipukuli.
 
Shafiyah berlari tak tentu arah. Allahuakbar! Allahuakbar! Dia tak kuasa melihat darah yang berceeran di jalan-jalan. Bruk! Tiba-tiba dia menabrak seseorang, Shafiyah tercekat melihat pria berseragam militer itu. Wajahnya sangat sangar tanpa belas kasihan. Pria itu menyeret jilbab Shafiyah.

“Lepaskan aku!” Shafiyah terus meronta-ronta.

Tapi apa daya tenaganya terlalu lemah. Aku akan dibawa kemana? Tiba-tiba terdengar suara rentetan tembakan. Pria itu tertembak tepat di tengkuknya. Dia tergeletak ke tanah. Shafiyah berteriak histeris, dia menutup wajahnya dengan kain jilbab. Tubuhnya lemas bergetar, sepercik darah segar mengenai abayanya.

Seorang pria menyambar tubuhnya, membawanya berlari secepat mungkin. Shafiyah masih menutupi wajahnya. Dia berlari terseok-seok. Mereka pergi menjauh dari pusat kekacauan. Sementara itu sepasang mata mengawasi gerak-gerik mereka tanpa mereka sadari.

“Shafiyah, ini Haris. Kakakmu.”

“Kakak...” Shafiyah berlinangan air mata, dia tak pernah menyangka akan mengalami tragedi seperti hari itu. Melihat orang-orang dibunuh di depan matanya.

“Pergilah ke tempat yang jauh! Mereka akan membakar tenda-tenda demonstran.”

Apa?! Aku harus memberitahu yang lain!

Kakak, kepada siapa engkau berpihak?”
   
Haris hanya terdiam. Raut wajahnya sendu, dia berbalik dan menghilang ke tengah-tengah kekacauan. Shafiyah kembali menembus kekacauan, dia menuju ke tenda-tenda untuk memberitahu demonstran yang lain. Dia terus berlari tertatih-tatih dari satu tenda ke tenda lain, memberi peringatan agar mereka segera menyingkir ke tempat yang aman.

Hingga tiba di tenda kelima, Shafiyah mencium bau bensin yang menyengat. Jantungnya berdegup semakin kencang, “Ayo cepat pergi dari sini!”

Para muslimah berlari berhamburan. Terlambat, tenda-tenda itu sudah dibakar. Api menyala-nyala membumbung tinggi, menjilati angkasa Kota Kairo. Shafiyah bersama beberapa orang muslimah terkepung api. Mereka saling berpelukan. Dada Shafiyah mulai terasa sesak karena banyak mengirup asap.

Ya Allah, matikanlah kami dalam keadaan syahid. Asyhadu an laa ilaaha illallaah, wa asyhadu anna muhammadar rasuulullah.

Sementara itu nan jauh di sana Haris tengah terlibat perkelahian dengan anggota tentara yang lain. Dia dikeroyok habis-habisan. Mereka memukuli Haris sambil memaki-maki.

“Dasar pengkhianat!” Salah satu dari mereka berteriak. Buak! Popor senjata menghantam pelipis Haris. Dia terjerembab ke tanah dengan darah bercucuran.

“Katakan! Kepada siapa engkau berpihak?!”

“Lebih baik aku mati, daripada membunuh orang yang sedang shalat...” Ucapnya lirih ditatapnya dalam-dalam mata lawannya. Seketika mereka menjadi berang, salah satu dari mereka bersiap-siap menarik pelatuk senapan.

Dor! Peluru tajam meluncur dari moncong senapan, tepat mengenai dada Haris. Dalam keadaan sekarat, Haris teringat dengan ayahnya.

“Haris, saat ini kamu telah resmi menjadi anggota militer... ditanganmu ada senjata, janganlah kau tumpahkan darah kaum muslimin.” Ucap ayah Haris seusai acara pelantikan resmi anggota militer Mesir.

“Ya Ayah, aku sudah berjanji kepada Allah... tidak akan menumpahkan darah kaum muslimin.”

“Ayah percaya, kelak kamu akan menjadi mujahid...” Ucap ayah Haris dengan mata berkaca-kaca.

Nafas Haris mulai terputus-putus, kaki dan sekujur tubuhnya terasa dingin sedingin es. Pandangan matanya mulai kabur, semakin lama semakin gelap.

Ya Allah, saksikanlah bahwa hari ini aku telah menepati janji... hari ini tak ada setetes darah pun dari kaum muslimin yang aku tumpahkan. Jadikanlah aku termasuk golongan orang-orang  yang menepati janjinya kepada-Mu.


Focus Private

Les Privat

Les Privat Focus Private adalah lembaga pendidikan yang mengkhususkan diri sebagai spesialis les privat guru ke rumah untuk mata pelajaran eksakta yaitu Matematika, Fisika, dan Kimia. Info 082312091982
Diberdayakan oleh Blogger.

Popular Posts

Total Tayangan Halaman