Kecanduan jejaring sosial membawa dampak buruk, salah satunya FOMO phobia. FOMO berasal dari kata Fear Of Missing Out, yaitu rasa takut yang
berlebihan tertinggal informasi di jejaring sosial atau internet.
Yuk, kita cek sama-sama kamu mengalami FOMO phobia atau tidak.
Tanda- Tanda FOMO Phobia
1. Gelisah jika tidak mengecek akun jejaring sosial.
Sobat, orang yang mengalami FOMO phobia mengecek akun jejaring sosialnya setiap 30 detik sampai lima menit dalam sehari. Bayangin sob, setiap 30 detik! Data itu berdasarkan penelitian yang dilakukan Melbourne’s Victoria University. Coba saja kamu hitung berapa kali dalam sehari mereka mengecek akun
jejaring sosialnya. Jika sebentar saja mereka tidak membuka akun jejaring sosial, mereka dihantui perasaan gelisah dan uring-uringan hingga mengganggu aktivitasnya di dunia nyata. Mereka sangat takut ketinggalan informasi di dunia maya.
2. Tidak bisa melepaskan diri dari handphone.
Karena ketakutan yang berlebihan kehilangan informasi di dunia maya, mereka selalu lekat dengan handphone. Makan sambil baca status teman, baru bangun tidur langsung meraih
ponsel untuk mengecek media sosial, malam sebelum tidur masih sibuk
menulis komentar. Seakan-akan handphone sudah menempel di telapak tangannya. Ketika
handphone hilang atau lupa menaruh, dunia serasa runtuh. Panik dan
kalang kabut.
3. Terobsesi dengan postingan orang lain.
Selalu mau tahu, diam-diam sering mengamati wall atau dinding teman
di jejaring sosial hanya untuk mengetahui aktivitas, foto, dan
status-status yang ditulisnya. Mereka percaya orang lain memakai akun
jejaring sosial untuk menunjukkan jati dirinya dan apa saja yang dilakukan. Mereka seringkali menyesal jika tidak bisa membaca postingan orang lain.
Di sisi lain penderita FOMO phobia juga rentan terkena depresi karena
iri melihat foto dan membaca status kehidupan orang lain yang diposting
ke akun jejaring sosial. Mereka tidak mau kehidupan orang lain lebih baik daripada
kehidupannya sendiri, perasaan itu menyebabkan mereka ragu dengan
dirinya sendiri dan tidak bersyukur.
4. Manajemen waktu yang buruk.
Sudah pasti penderita FOMO phobia tidak mampu mengatur waktunya dengan baik. Mereka menghabiskan waktunya selama kurang lebih 400 menit atau kurang lebih 6-7 jam setiap harinya untuk membuka akun jejaring sosial. Padahal waktu 6-7 jam itu bisa digunakan untuk aktivitas lain di dunia nyata yang lebih bermanfaat.
5. Eksis berlebihan di jejaring sosial.
Bagi penderita FOMO phobia, profil mereka di akun jejaring sosial hal yang sangat penting untuk menggambarkan kepribadian. Mereka juga merasa bete ketika notifikasi atau pemberitahuan sedikit, tidak banyak yang me-like dan mengomentari kirimannya. Akibatnya mereka terdorong untuk mengirim tulisan atau foto yang lain
dengan harapan ditanggapi oleh teman-teman di jejaring sosial. Bahkan men-tag ke banyak orang di jejaring sosial.
Nah, terus bagaimana dong caranya supaya terhindar dari FOMO phobia?
Padahal kamu masih membutuhkan jejaring sosial untuk berkomunikasi
dengan sanak saudara yang tinggal jauh atau mengerjakan tugas kelompok
di grup jejaring sosial?
Tenang aja, sob! Bukan berarti kamu tidak boleh menggunakan akun jejaring sosial. Ada beberapa tips sederhana yang bisa kamu lakukan agar terhindar dari FOMO phobia.
Pertama, batasi dirimu menggunakan jejaring sosial. Cobalah untuk tidak membuka akun jejaring sosial selama beberapa lama. Buatlah jadual mengakses jejaring sosial dan laksanakan jadual yang sudah kamu buat. Misalnya hanya membuka jejaring sosial satu kali dalam sehari.
Awalnya kamu resah gelisah seperti orang yang ‘sakaw’ karena tidak bisa mengakses internet. Jempolmu gatal ingin mengetik status atau membagikan foto yang tercantik atau terganteng. Tenang aja sob, itu cuma permulaan, setiap kali keinginan itu muncul coba untuk mengalihkannya. Lama kelamaan kamu terbiasa mendisiplinkan diri.
Kedua, menyibukkan diri dengan kegiatan yang bermanfaat di dunia nyata. Sob, ada banyak kegiatan yang enggak kalah serunya dibandingkan eksis di jejaring sosial. Kamu bisa menyibukkan diri dengan hobi, jalan-jalan bersama teman
sebaya, olah raga, mendaki gunung, menulis, membaca buku, aktif di
kegiatan sosial, dan lain-lain. Intinya buatlah dirimu sibuk di dunia
nyata.
Kamu itu makhluk nyata bukan makhluk maya apalagi ghaib (ih…serem),
kamu tinggal di dunia nyata. Berinteraksi dengan manusia yang
jelas-jelas ada, cetak prestasi nyata yang dampaknya bisa dirasakan oleh
lingkungan sekitar. Percaya deh sob, kalau kamu sibuk enggak bakal sempat memikirkan jejaring sosial.
Ketiga, menjauhlah dari handphone. Cobalah untuk menyimpan ponselmu di tempat yang jarang terlihat,
misalnya di dalam lemari. Jika perlu kunci lemari lalu simpan kuncinya.
Kamu perlu waktu untuk bercengkrama dengan keluarga, jangan biarkan ayah atau ibumu terabaikan karena kamu sibuk bermain ponsel. Ketawa-ketiwi dengan teman di dunia maya tapi cuek dengan orang tua sendiri. Kasihan kan ayah ibumu.
Keempat, ubah cara berpikirmu tentang jejaring sosial. Jejaring sosial bukan segala-galanya. Kamu tetap bisa hidup tanpa jejaring sosial, beda dengan makanan. Jejaring sosial bukan kebutuhan primer. Orang bisa meninggal karena
kurang gizi, tapi tidak akan meninggal karena tidak bisa mengangkses
internet. Jadi santai saja, kamu tidak harus mengecek akun jejaring sosial setiap menit.
Kelima, kurangi kebiasaan ingin tahu kehidupan orang lain melalui jejaring sosial. Enggak ada gunanya kamu mengintip profil atau dinding orang lain, membaca semua status dan kirimannya. Belum tentu semua informasi yang mereka kirim benar, lagipula semakin
ingin tahu kehidupan orang lain semakin rentan terserang iri dan
dengki. Kamu bisa iri melihat kehidupan orang lain yang dianggap lebih beruntung, entah karena dia orang yang lebih kaya, bisa jalan-jalan keluar negeri sementara kamu cuma bisa menikmati layar tancap.
Sedih melihat foto mesra orang lain bersama suami atau istrinya, sementara kamu sudah bertahun-tahun menanti jodoh yang tak kunjung datang. Kalau kebiasaan ingin tahu yang tidak pada tempatnya itu diteruskan,
lama-kelamaan kamu bisa depresi, sedih melihat orang senang, dan tidak
mensyukuri kehidupanmu sendiri.
Keenam, jangan takut dianggap enggak gaul. Enggak usah minder kalau enggak eksis di dunia maya.
Siapa bilang yang jarang membuka jejaring sosial itu gaptek, jadul,
dan cupu? Ingat sob, penilaian orang lain bukan standar utama dalam
menilai diri kamu sendiri. Banyak kok siswa berprestasi yang enggak eksis di dunia maya, mereka sibuk dengan berbagai kegiatan.
Biasanya nih yang eksis di dunia maya malah orang- orang yang banyak waktu luang alias pengangguran.
Remaja yang kecanduan jejaring sosial juga enggak keren. Rata-rata
prestasi akademis mereka jeblok karena malas belajar dan malas
mengerjakan PR, sering membolos sekolah supaya bisa memakai internet.
Sampai-sampai mereka rela menginap di warnet, enggak mandi selama beberapa hari, dan enggak mau pulang ke rumah. Waduh, kalau sudah begini orang tuanya yang pusing. Bagaimana masa depan mereka nantinya?
Ketujuh, stop keinginan curhat berlebihan di jejaring sosial! Ada banyak sarana curhat enggak cuma di akun jejaring sosial, kamu
bisa curhat sepuasnya sama Allah Ta’ala atau menuliskan semua
kegalauanmu di buku diary. Curhat sama Allah dan menulis di buku diary itu tempat curhat yang
paling aman. Enggak perlu takut ada yang membocorkan curhatanmu, enggak
perlu khawatir ada yang berkomentar sinis atau malah jadi ngegosipin
curhatanmu.
“Tapi tetap lebih asyik curhat di jejaring sosial, ada yang nge-like, ada yang memberi simpati.”
Wah, kalau kayak begitu sih kamu perlu bertanya ke diri sendiri niatnya curhat untuk apa? Benar-benar ingin mencari solusi atau hanya ingin mencari perhatian
orang lain dan mendapatkan banyak simpati? Kalau ternyata tujuannya
hanya ingin mendapat simpati dan perhatian orang lain sebaiknya segera hentikan kebiasaan itu. Banyak mengeluh justru membuat kamu semakin lemah.
Kedelapan, hapus aplikasi jejaring sosial dari handphone-mu. Semua tips sudah dijalankan tapi pikiranmu sulit terlepas dari
jejaring sosial, seakan-akan ada keinginan yang tidak bisa kamu
kendalikan untuk membuka akun jejaring sosial. Saatnya mencoba tips terakhir, hapus aplikasi jejaring sosial dari ponselmu. Tujuannya supaya kamu enggak penasaran untuk terus membukanya,
atau ganti ponselmu dengan ponsel yang hanya bisa SMS dan telepon.
Oke deh sobat, penjelasan di atas tidak bertujuan untuk menakut-nakuti kamu lho. Hanya saja resiko
kecanduan itu pasti ada kalau kamu tidak bijak memakai akun jejaring sosial.
(Tulisan ini telah dimuat di www.kreasianaknegeri.com)
Hati-Hati FOMO Phobia!
Memoar Serambi Mekah
Masjid Baiturrahman, di Kota Banda Aceh masih berdiri anggun dan kokoh. Aku memandangnya dari lantai dua gedung Museum Tsunami, dari balik jendela kaca besar yang berkilau ditimpa cahaya matahari. Dulu, sembilan tahun yang lalu, halaman masjid itu dipenuhi puing-puing runtuhan bangunan, dan jasad-jasad tak bernyawa tumpuk-menumpuk seperti timbunan sampah.
Aku tercenung. Sendirian. Bayangan-bayangan masa lalu meninggalkan jejak kelam, semuanya terekam dengan jelas dan kembali berputar membangunkan memori yang lama terkubur.
‘Setiap yang bernyawa akan merasakan mati.’ Peristiwa itu sangat dahsyat, bahkan aku mengira hari itu adalah hari kiamat. Pikiranku melayang-layang di udara, terbang ke sana ke mari.
***
Ulee Lhue, 26 Desember 2004
Dalam balutan baju koko putih aku terus mempersiapkan diri, menghafalkan kalimat ijab kabul. Ratri cantik sekali, ia mengenakan baju gamis putih. Wajahnya putih bersinar meskipun dengan riasan seadanya. Pak penghulu, wali dan dua orang saksi telah siap melaksanakan prosesi ijab kabul. Tangan ayah Ratri mejabat tanganku erat, ia menatap dalam-dalam. Keringat dingin mengucur di kening, rasanya grogi. Persendianku seperti mau lepas.
“Saya terima nikahnya Ratri Hasanah binti Yusuf...” belum selesai kalimat itu kuucapkan, tiba-tiba bumi Aceh berguncang dahsyat. Rumah panggung kayu itu berderit kencang, piring-piring berjatuhan dan serpihan kayu mulai rontok. Semua berteriak, menangis, bertakbir dan menjerit. Suasana akad nikah yang syahdu berubah menjadi hiruk pikuk.
Aku terhuyung-huyung, berjalan tak tentu arah seperti orang yang sedang mabuk. Semuanya berdesakan di pintu rumah, ingin menyelamatkan diri sebelum rumah itu roboh.
“Semuanya cepat keluar!” Teriakku. Satu persatu anggota keluarga dan tamu undangan berhasil diselamatkan.
“Bagaimana ini gempa, apa mau dilanjutkan?” tanya seorang kerabat.
Aku melirik ke arah calon mertua dengan tatapan penuh harap agar prosesi akad nikah itu tetap dilanjutkan.
Sepertinya calon mertua memahami makna tatapanku, “Sudah kepalang tanggung kita lanjutkan saja.”
Pernikahanku hanya disaksikan sedikit orang, sebagian tamu undangan memilih pulang. Seluruh keluarga dan para undangan duduk beralaskan tanah, diantara rimbunnya pohon kelapa yang tumbuh di pesisir pantai Ulee Lhue. Lagi, ayah Ratri menjabat erat tanganku.
Aku menarik nafas panjang, “Saya terima nikahnya Ratri Hasanah binti Yusuf dengan mas kawin seperangkat alat shalat tunai.” Pak penghulu berucap hamdalah, Ratri sudah resmi menjadi istriku. Keluarga dan para undangan mengucapkan selamat.
Beberapa menit kemudian, lamat-lamat kudengar orang-orang berteriak kegirangan melihat ikan-ikan bergelimpangan, “Air laut surut, banyak kali ikannya!” Mereka berlomba-lomba menangkapi ikan yang menggelepar-gelepar. Firasatku berkata lain, ‘Air laut surut, ini pertanda tidak baik. Tsunami.’
Aku berteriak-teriak dari kejauhan, “Jangan ke pantai!” Namun apa daya suaraku tak mampu menjangkaunya. Hilang ditelan angin.
“Memangnya ada apa, Faris?” tanya ibuku.
Aku tak sempat menjawab pertanyaannya, “Ayo kita semua pergi dari sini, carilah tempat yang lebih tinggi!” Seketika semuanya menjadi panik.
Mobil-mobil bak terbuka sudah dipenuhi orang, semuanya memaksakan diri untuk menaikinya. Sempit, berhimpitan. Tak ada tempat yang tersisa untukku. Ayah, ibu, istri dan mertuaku sudah berada di atasnya.
Kupandangi Ratri, dan mengecup keningnya, “Pergilah ke tempat yang aman, jangan khawatirkan abang.” Ada gurat cemas di wajahnya.
Ibu berkali-kali berpesan, “Faris, apapun yang terjadi janganlah mati kecuali dalam keadaan islam.” Bulir-bulir bening membasahi pipinya yang keriput.
“Tenanglah Ma, inshaAllah Faris baik-baik saja.” Aku berlari ke arah Juki, motor tua itu setia menunggu di halaman rumah panggung yang miring akibat gempa.
Brem! Brem! Aku memacu Juki secepat kilat. Nging! Nging! Suara itu berdenging semakin keras, seperti suara pesawat terbang yang mendekat. Aku menoleh ke belakang, dari kejauhan terdengar teriakan-teriakan ketakutan. Suara tawa anak-anak berubah menjadi tangisan pilu.
Nging! Nging! Suara itu semakin dekat memekakkan telinga. “Ada apa ini?” Batinku. Aku terus menambah kecepatan, Juki mulai berkerikit. Lagi, aku menoleh ke belakang. Tiba-tiba, air hitam bercampur pasir dan puing-puing bangunan mulai melahap pohon kelapa yang ada di depannya. “Allahuakbar!” Aku berteriak, bayang-bayang kematian ada di benakku.
‘Ayolah Juki, jangan menyerah!’ Motor butut itu mulai terengah-engah. Air bah raksasa itu semakin mendekat. Byur! Aku ditelan olehnya, melayang-layang diantara timbunan sampah rongsokan. Dadaku sakit sekali, akibat menelan air bercampur pasir. Ujung-ujung kayu yang patah menyayat tubuhku. Perih.
Dalam kegelapan dan pekatnya gulungan ombak tsunami, aku memohon pada-Nya,“Jika memang ini saatnya hamba mati...matikanlah dalam keadaan husnul khatimah.” Pasrah. Tiba-tiba, aku menabrak sebuah dinding. Timbul, tenggelam. Sekilas kulihat ada seutas tali menjuntai dari atap rumah yang dindingnya masih berdiri kuat.
Dengan tenaga yang tersisa aku berusaha menggapainya. Hap! Berhasil, dengan tubuh dipenuhi luka aku memanjat ke atap rumah. Dan terduduk lemas di atasnya, rasanya tak kuat lagi. Kutumpahkan rasa syukur itu dalam sujud panjang berurai air mata. Kupandangi sekeliling, air tsunami itu masih melampiaskan murkanya. Ia menyeret apa saja yang ada dihadapannya, sepintas kudengar sayup-sayup suara meminta tolong.
“Tolong! Tolong!” Seorang kakek tua bergelantungan di batang pohon yang patah. Terseret arus. Aku berusaha meleparkan tali itu padanya, ia berhasil menggapainya. Namun nahas, tali itu terputus. Ia terus menjauh dan menghilang.
Waktu terus berjalan, aku terjebak di atas atap. Matahari telah tenggelam berganti selimut malam. Aceh saat itu, gelap gulita di malam hari, tidak ada seberkas cahaya sedikitpun. Dinginnya angin malam menusuk tulangku. Malam itu aku bermalam di atas atap rumah bersama dengan beberapa jenazah yang tersangkut di pinggir-pinggirnya, tak ada lagi rasa takut di hatiku.
***
Fajar menyingsing, di bawah kaki langit biru. Aku mulai menelusuri bumi tempat berpijak dengan mata nanar. Ini benar-benar pemandangan yang mengerikan. Semuanya rata dengan tanah, tak ada sehelai ilalangpun berdiri tegak. Krak! Aku tidak sengaja menginjak jenazah yang tertutup triplek. Bau anyir jenazah bercampur lumpur, menyengat hidung.
Sudah tiga hari aku berjalan tak tentu arah. Sepertinya terjangan tsunami membawaku hingga beberapa kilometer dari Ulee Lhue. Tak ada satupun manusia hidup yang kutemui. Lapar. Aku mengais-ngais timbunan sampah, berharap ada makanan untuk mengganjal perut. Sebungkus mie instan terselip di balik serpihan kaca, aku mengunyahnya tanpa dimasak. Dari kejauhan kulihat tanda-tanda kehidupan. Tiga orang laki-laki datang berbaris sambil menggotong kantong mayat.
Aku berteriak seraya melambaikan tangan, “Tolong! Di sini ada orang!” Satu kali panggilan tidak terdengar.
“Tolong!” Salah satu dari mereka menoleh ke arahku.
“Di sana ada yang hidup!” Pekiknya kepada teman yang lain. Mereka menghampiriku, lega rasanya.
Aku terus mengikuti mereka mengevakuasi mayat, ada seorang anak kecil berusia dua tahun. Ia tidak beranjak dari samping jenazah lelaki paruh baya, aku terus memperhatikannya. Iba. Ia membelai lembut rambut jenazah, “Ayah, bangun! Bobonya jangan lama-lama...” Mataku berkaca-kaca sambil memalingkan wajah, menyembunyikan tangis.
“Hari ini sudah cukup, kita kembali ke posko!” Lelaki bertubuh tegap itu membawa jenazah tersebut. Anak kecil itu terus menggenggam tangan ayahnya yang dingin dan kaku.
“Kemana kita akan pergi?” tanyaku pada salah satu dari mereka.
“Kita akan ke posko pengungsian di desa Lampisang.”
Setelah sehari bermalam di pengungsian, aku mulai mencari jejak-jejak keluarga yang mungkin masih tersisa. Berbekal sepeda milik seorang pengungsi, dimulailah pencarian itu. Kukayuh sepeda itu ke daerah Lhoknga, rumahku hanya tersisa dinding dapurnya. Semua kenangan masa kecil, runtuh bersama rumah itu. Aku mendekat, ada goresan merah di dinding. Syaiful masih hidup, posko Masjid Lampenerut. “Pak Wa Syaiful masih hidup!” Batinku menjerit kegirangan.
Segera kunaiki sepeda itu, menuju Masjid Lampenerut. Harap-harap cemas menyelimuti hatiku, semoga ayah, ibu, mertua, dan istri masih hidup. Senja menjelang, keringat sebesar jagung membasahi tubuhku. Masjid Lampenerut dipenuhi pengungsi, aku menghampiri seorang relawan dan bertanya perihal pak wa Syaiful.
Pak wa Syaiful memelukku. Erat. Ia menangis kencang, aku terharu tak sanggup membendung air mata yang deras mengalir.
“Pak Wa ke mana yang lainnya? ke mana ayah, ibu, mertua, dan istriku?” tanyaku penuh harap.
Pak wa Syaiful terbata-bata, “Pak wa tidak tahu di mana keluarga yang lain, Faris. Saat itu situasinya kacau balau, jalan-jalan macet dipenuhi mobil dan motor. Semuanya panik ingin menyelamatkan diri, kami semua memutuskan untuk turun dari mobil bak terbuka dan berjalan kaki. Tiba-tiba air tsunami menelan kami, kami terpisah. Alhamdulillah ada seseorang yang menolong pak wa, saat terseret arus.”
“Apa tidak ada kabar sama sekali, Pak Wa ?”
Pak Wa Syaiful menggelengkan kepala, “Sudah sejak kemarin pak wa mencari keluarga kita, sudah tiga posko pengungsian yang pak wa kunjungi, tak ada petunjuk.”
Akhirnya aku dan Pak Wa Syaiful berbagi tugas untuk mengunjungi titik-titik pengungsian dan rumah sakit yang belum dikunjungi. Berharap ada keluarga lain yang masih hidup. Sembari terus mencari jejak keluarga, aku membantu relawan untuk mengevakuasi jenazah-jenazah.
Hingga pada hari kelima setelah tragedi tsunami aku belum menemukan petunjuk sedikit pun tentang kondisi keluargaku, rasanya putus asa. Di tengah kegundahan yang amat sangat aku memohon pada-Nya agar dipertemukan dengan keluarga yang lain, baik dalam keadaan hidup atau meninggal. Jika sudah meninggal aku berharap dapat melihat jenazahnya untuk terakhir kali.
Pada hari ketujuh masa pencarian, para relawan di posko tempat aku mengungsi dibuat takjub karena menemukan jenazah yang tidak biasa. Mereka menemukan jenazah seorang wanita dengan jilbab ungu, seusia ibuku. Mereka takjub karena aurat jenazah itu tertutup rapat mulai dari kaus kaki hingga jilbab, sementara jenazah-jenazah lain banyak yang terlepas pakaiannya karena hantaman tsunami yang yang sangat kencang.
Aku terdorong untuk melihat jenazah itu, ibuku terakhir kali mengenakan jilbab dan gamis ungu. Aku dekati kantong jenazah berwarna kuning yang tertutup rapat, hatiku berdebar-debar. Dengan tangan gemetar aku membukanya, tangisanku pecah saat itu juga. Benar jenazah itu, ibuku. Aku membuka kantong-kantong jenazah yang lainnya, mungkin ada keluarga yang lain. Firasatku benar, ayah kandung dan ibu mertuaku juga sudah meninggal.
Menurut cerita relawan yang menemukannya, jenazah ayah dan ibu ditemukan di satu lokasi, di bawah puing-puing bangunan. Sementara jenazah ibu mertuaku ditemukan tersangkut di pohon. Keluargaku yang sudah meninggal dikuburkan di kuburan massal, Pocut Baren. Pencarian masih terus berlanjut, aku mencari istri dan ayah mertua.
Aku dan Pak Wa Syaiful berkeliling ke rumah sakit-rumah sakit. Hari itu sudah empat rumah sakit yang dikunjungi, tak ada petunjuk. Hampir saja aku menyerah, namun Pak Wa Syaiful berhasil merubah pikiranku. Akhirnya aku dan Pak Wa Syaiful memutuskan untuk mengunjungi satu rumah sakit lagi, yaitu RS Fath. Rumah sakit itu dipenuhi pasien, pasien luka dirawat di koridor rumah sakit, semua ruangan sudah penuh.
Aku bertanya kepada petugas rumah sakit, “Adakah pasien bernama Ratri Hasanah dan Yusuf Harun?”
Ia mulai membuka buku catatan pasien, “Ada hanya pasien bernama Ratri Hasanah, di ruangan nomor 34.”
Kubuka pintu itu, ayah mertua duduk di sisi Ratri. Ia menyambut dan merangkulku, ada embun di matanya. Ratri terus bergumam, ia tak sadarkan diri. Perlahan kudekatkan wajahku ke wajahnya, ternyata ia menggumamkan ayat-ayat al-qur’an. Ia melantunkan sebuah ayat. Ini bacaan al-qur’an terindah yang pernah kudengar. Kuresapi maknanya di relung-relung hati terdalam. ‘Tiap yang berjiwa pasti akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan. Dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan.’ Air mataku jatuh, membasahi pipi Ratri.
Tiba-tiba, seorang dokter menghampiri ayah mertua, mereka berbincang-bincang sejenak di luar ruangan. Aku mengitipnya dari balik pintu, ayah mertua terduduk menutup kedua wajahnya. Tubuh ringkihnya berguncang-guncang menahan kesedihan.
***
“Abi,” tangan mungil itu menggamit tanganku, memecah lamunan. Senyumnya yang ceria menghibur hati.
“Ayo kita pulang, Bi. Ummi sudah menunggu.” Ia menyeretku menuruni tangga ke lantai satu. Ratri duduk di atas kursi roda, Nabila, putriku membantu mendorong kursi roda.
Masih terngiang-ngiang di telinga, vonis dokter sembilan tahun yang lalu, “Cedera hebat yang dialami Ratri merusak syarafnya, kemungkinan ia mengalami kelumpuhan permanen dari bagian pinggang sampai kakinya. Ia tidak akan bisa berjalan, kecuali jika Allah SWT berkehendak lain.”
Kutatap matanya yang bening. Seulas senyum menghiasi bibir merah Ratri. Menatap cerahnya masa depan. Aku berjalan gontai, di bawah kaki langit biru Kota Banda Aceh.
(Cerpen ini telah dimuat di www.dakwatuna.com)
Pelatihan Bisnis Supardi Lee
Personal touch tidak hanya berlaku untuk pengajar, tapi juga klien yang sudah memakai jasa perusahaan anda. Personal touch dapat anda lakukan dalam berbagai bentuk. Bisa berupa hadiah, perhatian, mengucapkan ulang tahun, memberikan souvenir, dan lain-lain. Jadi personal touch tidak harus dalam bentuk uang dan barang, bisa juga dalam bentuk perhatian yang tulus kepada klien.
7 Cara Meningkatkan Kemampuan Menulis
Tidak butuh waktu lama, cukup luangkan waktu 10-30 menit/hari untuk menulis. Lalu lihat hasil tulisan kita, akan terlihat perubahan. Tulisan kita semakin baik dari hari ke hari. Menulis setiap hari juga berguna untuk melenturkan gaya tulisan kita sehingga enak dibaca.
Nazmah Armadhani (45), Kesuksesan yang Berawal dari Cemoohan
Hingga suatu hari, cemoohan yang terlontar dari kerabatnya membuat wanita yang biasa dipanggil Ibu Dhani ini meninggalkan pekerjaan yang selama ini dia tekuni, dan mulai mencoba berdagang. Berikut penuturannya kepada penulis.
Testimoni Buku: Cahaya Hidupku
Buku Cahaya Hidupku membuat air mataku meleleh. Ketulusan, penerimaan tanpa syarat, dan ketangguhan para orang tua anak spesial membuatku tersadar. Di luar sana ada orang-orang yang berjuang demi kehidupan yang lebih baik bagi ananda. Mereka hanya memiliki keinginan yang sederhana, langkah kecil ananda saat menapakkan kaki untuk berjalan, untaian suku kata yang terlontar dari mulut mungilnya, sudah cukup membahagiakan. Mereka tak lelah menanti keajaiban demi keajaiban.
Kisah Pak Rully dan Ibu Rahmawati, sepasang suami istri tunanetra yang diamanahi Allah Ta'ala untuk membesarkan ananda dengan kondisi spesial, telah mengajariku banyak hal, bahwa Allah selalu memberi kemudahan di antara kesulitan. Dia tidak akan menelantarkan makhluk ciptaan-Nya.
Buku ini sangat inspiratif.
Curahan Hatiku
Jangan Seperti Lilin
Berada di tengah-tengah kerumunan orang dan hiruk pikuk manusia, sangat menguras energi.
Menulis tidak sekadar menyusun huruf dan kalimat tanpa makna, menulis juga termasuk aktivitas transfer energi.
Sudah seharusnya seorang penulis memiliki energi yang lebih untuk dibagikan kepada pembaca.
Jika tidak pandai membagi waktu untuk mengisi energi, bukan tak mungkin diri sendiri yang akan hancur.
Jangan seperti lilin, ia menerangi lingkungan sekitarnya tapi membinasakan diri sendiri.
Itulah sebabnya mengapa berlebihan bergaul dengan manusia merupakan sifat buruk yang dijauhi generasi Islam terdahulu.
Bergaul secukupnya selama membawa manfaat, dan tinggalkan kesia-siaan.
Pesan Ini untukmu, Wahai Penulis!
Pemikirannya yang cemerlang dia sembunyikan rapat-rapat. Kitab itu baru tersebar setelah ajal menjemput.
Berbagai puja dan puji melimpah atas karyanya yang fenomenal. Seumur hidup Al-Mawardi menggigit lidah kuat-kuat, menahan diri untuk tidak dikatakan hebat.
Karyanya tetap abadi, terus dikenang dan terkenal. Dia mendapatkan semua itu tanpa pernah menginginkannya.
"Sesungguhnya apa yang dilakukan karena Allah itu akan abadi" kalimat itu tertulis di dalam kitab yang ditulis Imam Malik.
Sahabat, apa yang kita harapkan dari setiap goresan pena kita? sungguh amatlah jauh kapasitas diri kita dibandingkan dengan para sahabat dan ulama terdahulu.
Jika mereka lebih memilih kesunyian, kita lebih senang berada di tengah-tengah kerumunan orang.
Mereka menyembunyikan mutiara, sementara kita memamerkan batu kerikil yang tidak berharga.
Jika hati mereka lembut, kepala mereka tertunduk merendah, hati kita menjadi keras, sibuk menghias diri demi pandangan makhluk.
Lalu apa yang tersisa?
Al-Jahiz mengatakan, "Perhatikanlah wahai para penulis!
Jika engkau melakukannya tanpa keikhlasan, tulisanmu akan menjadi seperti buih yang hilang. Seperti tumbuhan di musim buah, yang akan terbakar oleh angin musim panas."
Rasanya terlalu naif, jika kita berharap keabadian dengan menulis. Sementara kita melakukannya dengan niat yang bercampur kotoran.
Alih-alih mendapatkan ampunan-Nya, semua amalan justru hilang tak berbekas, ibarat batu yang licin. Hanya tersisa tumpukan dosa yang menggunung.
Ini perkara yang sangat berat...
Lantas apa yang salah? jika dalam semua kondisi hatimu tak tenang.
Bisa jadi Dia belum memberimu hayatan thoyibah, kehidupan yang baik. Kehidupan orang mukmin.
Ada orang-orang yang tetap tenang dalam berbagai kondisi. Lapang atau sempit.
Mereka yakin dengan janji Allah Ta'ala, siapa yang bertaqwa akan diberikan jalan keluar dari arah yang tidak diduga.
Mereka tidak punya alasan untuk resah gelisah.
Alangkah senangnya orang-orang itu.
7 Karakter Penulis Impian
Menulis itu memang pekerjaan yang membutuhkan kesendirian, kamu bisa bebas corat-coret, tapi bukan berarti pekerjaan ini enggak terhubung sama orang lain.
Kalau kamu serius mau menerbitkan karya, mau enggak mau kamu harus berinteraksi dengan pihak penerbit, editor, atau kelak pembacamu.
Nah, kebayang kan! Kalau menulis itu pekerjaan yang juga membutuhkan kemampuan sosial yang baik. Enggak sekadar mengandalkan teknik menulis yang oke punya atau bahasa yang nyastra.Yuk! Kita simak, karakter penulis seperti apa sih yang disebut penulis impian.
Ini yang terpenting, jangan mau jadi penulis yang biasa-biasa aja. Apa yang membedakan kamu dengan penulis yang lain? Kamu harus punya visi dan misi yang jelas dalam berkarya. Ada hal penting yang perlu diingat oleh penulis, yaitu pesan apa yang ingin disampaikan pada pembaca?
Di luar sana buku-buku terbit setiap hari. Ada yang membawa pesan yang baik, namun ada juga yang buruk. Beruntung deh, kalau kamu memilih menghasilkan karya yang membawa kebaikan dan manfaat.
Ingat, kata-kata yang kamu tulis ibarat sihir. Kamu bisa mempengaruhi pembaca. Jangan salah, pekerjaan ini menuntut tanggung jawab yang besar.
Pernah enggak tiba-tiba kamu dituduh plagiat akibat memposting tulisan karyamu sendiri yang ternyata sudah dicontek orang lain? Orang lain yang menjiplak, kamu yang dituduh, atau tulisanmu beredar di dunia maya atas nama orang lain?
Wes... pasti gondoknya sampai ke ubun-ubun. Biar bagaimanapun menghasilkan sebuah karya itu enggak mudah, sob!
Kamu bisa begadang tujuh hari delapan malam, lupa makan, lupa mandi, dan malas gosok gigi, hanya untuk mencari inspirasi, dan tiba-tiba orang lain merampas karyamu. Ow, ow, ow... pasti hatimu panas membara. Nah, kamu enggak suka kan kalau dicontek.
Orang lain juga begitu. Berarti jujur aja dalam berkarya, biarpun tulisanmu enggak secakep tulisan Andrea Hirata atau sekelas Habiburahman El-Shirazy, kejujuranmu punya nilai tinggi.
Inget nih, sob! Sekali saja kamu ketahuan plagiat, kamu bakal masuk daftar hitam dan mematikan karirmu sendiri di dunia literasi.
Biasanya nih penulis yang terikat kontrak dengan penerbit atau menjadi penulis freelance punya target waktu atau deadline menyerahkan tulisan yang lumayan ketat. Apalagi kalau kamu memilih menjadi jurnalis di sebuah media massa. Kamu harus siap berlomba dengan waktu.
Selain itu kedisiplinan juga dibutuhkan saat membuat tulisan, kamu harus disiplin menggunakan bahasa yang baik dan benar, memperhatikan tanda baca, merapikan tampilan tulisan, dan lain-lain.
Percaya atau enggak, kesungguhan seorang penulis terlihat dari karyanya. Penulis yang bekerja asal-asalan tidak menghargai karyanya sendiri.
Jika demikian keadaannya, bagaimana kamu bisa berharap pembaca akan menghargai karyamu? Lha wong, penulisnya sendiri enggak mencintai karyanya.
Jujur deh, sob! Tugas editor itu untuk memperbaiki kekurangan karyamu. Jadi enggak perlu ngambek alias mutung ketika dikritik. Adakalanya orang lain lebih jujur menilai karyamu, mana ada penulis yang menganggap tulisannya jelek. Revisi memang terlihat merepotkan, tapi bayangin aja! Apa jadinya kalau tulisanmu terbit tanpa proses revisi. Pasti berantakan dan banyak celanya.
Ini juga poin penting, penulis yang menyenangkan itu yang komunikatif. Enak diajak bicara, memahami penerbit juga editor. Tanggap ketika diminta untuk memperbaiki tulisan.
Siapa sih yang enggak sebel sama orang yang petantang-petenteng? Jangankan pembaca, rekan sesama penulis aja enggak suka sama penulis sombong.
Jangan salah, sob! bisa jadi orang berbondong-bondong membeli karyamu bukan karena tulisanmu aji gile kerennya, bisa jadi mereka mau membeli karena kamu punya karakter yang baik dan menyenangkan-padahal karyamu biasa aja.
Itulah makna kalimat "siapa yang meninggikan diri justru akan direndahkan".
Hati manusia siapa yang punya? Allah SWT. Jadi perbaiki hatimu sembari terus berkarya.
Sob, dalam membuat tulisan kamu perlu mempertimbangkan rasa empati. Pikirkan baik-baik sebelum menggoreskan pena. Jangan sampai kalimat-kalimat yang kamu tulis di kemudian hari menimbulkan polemik.
Pilihlah kata-kata yang santun, sekalipun tulisan yang kamu buat bertujuan untuk mengritik.
Termasuk juga berempati kepada pembaca, menggunakan bahasa tulisan yang mudah dimengerti. Mereka tidak hanya butuh hiburan saat membaca tulisanmu, tapi juga butuh informasi yang kelak bermanfaat bagi mereka. Nah, itu salah satu tugas penulis. Peka dengan kebutuhan pembaca.
Oke deh sob! semoga tulisan ini bermanfaat. Yuk, kita sama-sama belajar!
Wanita yang Menangis Karena Zakat
Dia selalu berseri, meskipun kadang ketika menyendiri wajahnya bermuram durja, namun mendung itu segera menghilang saat dia bertemu dengan orang lain.
Aku tahu, dia wanita yang sholehah.
Harta yang melimpah ditangannya tidak dinikmati sendiri. Dia sangat menghargai tamu dan menjamunya dengan layak, senang bersedekah, juga berzakat.
Hanya saja Allah SWT hendak mengujinya.
Ketika itu tentu berbeda, tidak ada baju baru, opor ayam atau ketupat. Hanya lauk seadanya.
Dia hampir saja menangis karena tidak bisa membayar zakat.
Inilah Si Pembunuh Kelas Kakap
Mengonsumsi alkohol dapat menyebabkan gangguan fungsi berpikir, penurunan kesadaran, dan perilaku.
Kondisi ini membuat pengguna merasa nyaman, namun sebenarnya otak dalam kondisi tertekan.
Etanol memiliki sifat adiktif. Orang yang lama mengonsumsinya tanpa sadar akan terus menambah takaran atau dosisnya hingga mabuk.
Kenyataannya miras dengan kadar alkohol rendah tidak menyelesaikan masalah, justru menggiring orang yang meminumnya untuk terus menambah dosis.
Mereka yang sudah kecanduan akan mengalami sindrom putus alkohol. Mereka sangat takut berhenti meminumnya, sering gemetar, cemas, murung, dan halusinasi.
1. Menyebabkan kematian.
Berdasarkan data WHO tahun 2011 kematian akibat pengaruh alkohol -termasuk kecelakaan dan penyakit yang mengiringinya, tercatat 2,5 juta orang. Lebih besar dari kematian akibat HIV AIDS.
Sedangkan menurut Fahira Idris, ketua Genam, di Indonesia ada 50 orang per hari atau 18.000 orang per tahun yang meninggal akibat miras.
Baik secara langsung, maupun tak langsung seperti pembunuhan, KDRT, kecelakaan, dan perkosaan.
Miras tidak hanya membahayakan diri penggunanya tapi juga membahayakan orang lain. Sejumlah kasus kriminal dipicu oleh miras.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Pusat Kajian Kriminolog Fisip UI bersama Genam, sebanyak empat persen kejahatan di Jakarta sepanjang tahun 2013 dilatarbelakangi oleh konsumsi miras.
Fakta mengejutkan terungkap data statistik menunjukkan sebagian besar pengguna alkohol dan narkoba adalah remaja. Rata-rata pengguna berusia 14-16 tahun (47,7%), 17-20 tahun (51,1%), dan 21-24 tahun (31%). (Majalah KawanKu).
Sedangkan menurut data Dislitbang Polri sebanyak 70% pengguna berasal dari kalangan pelajar.
Tidak dapat dipungkiri, miras sangat mudah didapatkan, dijual bebas di minimarket dan supermarket, bahkan di beberapa tempat diletakkan di tempat yang mudah dijangkau oleh anak-anak. Remaja dapat membeli miras tanpa pengawasan ketat.
Padahal menurut Fahira Idris ada sepuluh tempat yang dilarang menjual miras, berdasarkan peraturan kementrian perdagangan, yaitu perumahan, sekolah, sekitar rumah sakit, terminal, stasiun, GOR, penginapan, dan toko.
Meskipun demikian miras tetap merajalela di kalangan remaja. Masih menurut Fahira Idris, negara perlu mengendalikan produksi, distribusi, dan penjualan miras. Juga disertai dengan pengendalian individu yang dilakukan melalui sosialisasi bahaya miras pada masyarakat umum terutama kalangan remaja.
(Tulisan ini telah dimuat di www.kreasianaknegeri.com)