-- Saat Masih Kecil --
"Ummi, aku bantu nyuci piring ya ..." Anak itu menghampiri umminya yang tengah sibuk di dapur.
"Udah ga usah biar ummi aja," jawab umminya. Dia tidak mau diganggu anak saat berkutat dengan urusan dapur.
***
"Aduh ... ini siapa yang numpahin air. Bikin repot aja!" Teriakan ummi memecah kesejukan pagi.
Anak itu terdiam sejenak, kepalanya mendongak dengan senyum bangga di wajahnya, "Liat Mi, aku bantuin Ummi ngepel lantai."
Kenyataannya dia menumpahkan air seember hingga teras kebanjiran. Ummi
terlalu sibuk, dia tidak sempat memikirkan niat baik anaknya--hanya
ingin membantu, yang ada di benaknya cuma teras kotor yang menambah
pekerjaan rumah.
***
Anak itu sedang sibuk memasukkan mainan
ke kardus. Tiba-tiba ummi datang mengambil alih pekerjaan sang anak
sembari berkata, "Udah ummi aja yang beresin mainan."
Saat itu ummi ingin rumah cepat bersih, tidak berantakan.
Padahal dalam hati kecil, sang anak berteriak protes. Dia ingin sekali
membereskan mainan sendiri sampai tuntas. Dia merasa sudah bisa.
-- Saat Remaja --
"Mi, aku mau ikut Paskibra di sekolah."
"Udah ga usah ikut, nanti kamu kecapean, panas lagi, bla ... bla ...bla ..."
Anak itu termasuk penurut, dia selalu mendengar apa kata ummi. Akhirnya niat itu diurungkan.
***
Suatu ketika akan ada acara keluarga di rumah. Ummi sibuk membereskan
rumah. Anak itu menawarkan diri, "Mi, biar aku aja yang pesen katering.
Menunya apa aja?"
"Udah ga usah, nanti malah salah pesen lagi. Biar ummi aja."
Lagi-lagi anak itu hanya terdiam.
-- Setelah Dewasa --
Kini anak itu telah dewasa, dia memasuki usia 30 tahunan. Pekerjaannya
sehari-hari hanya berdiam diri di rumah, bermain catur, nongkrong, dan
mengobrol kesana kemari.
Umminya sudah semakin lanjut, tubuhnya ringkih, dan tidak kuat melakukan aktivitas sendiri.
Suatu ketika ummi berkata, "Nak, tolong beli beras di warung."
"Suruh aja pembantu Mi, warungnya kan jauh ... nanti aku capek lagi."
"Si Mbak lagi pergi ..."
"Ya udah nunggu Si Mbak pulang aja baru suruh dia beli beras," jawab anak itu sembari menyeruput kopi.
Ada luka yang tertoreh, ummi sedih karena permintaan tolongnya ditolak.
Sembari menghela napas ummi duduk di samping sang anak. Sudah sejak
setahun yang lalu anaknya menganggur, luntang-lantung tanpa pekerjaan.
"Nak, kamu enggak nyoba ngelamar kerja lagi?"
"Buat apa Mi? Paling juga ditolak."
"Lha kamu, setiap dapat pekerjaan enggak pernah betah. Baru sebulan kerja udah mundur ... begitu terus."
"Abis gimana, jam kerjanya ga cocok, bosnya galak, bla ... bla .. bla." Dia mulai mengeluh.
"Ya udah, kalo ga mau kerja di kantoran biar ummi modalin aja. Kamu buka usaha gimana?"
"Enggak deh Mi, nanti gagal lagi ... aku kan ga pinter bisnis."
Anak itu kembali menyeruput kopi. Ummi beranjak ke teras matanya menangkap bayang-bayang rumput taman yang sudah tinggi.
"Nak, itu rumput sudah panjang ... kayaknya udah waktunya dipotong."
Ummi tidak berani meminta tolong secara langsung. Dia takut ditolak.
"Besok-besok aja ya Mi, aku mau istirahat dulu."
Padahal sedari pagi anak itu hanya duduk-duduk di dalam rumah. Tak
terasa bulir air mata membasahi pipi ummi. Dia terus membatin, "Kenapa
anakku jadi begini?"
Dia sangat khawatir dengan kondisi anaknya
yang tidak bisa diandalkan, jangankan bertanggung jawab atas pekerjaan
yang ada di pundaknya, bertanggung jawab terhadap diri sendiri saja
belum bisa. Tidak tahan banting dan selalu merasa gagal.
***
Ummi, siapakah yang mematikan inisiatifnya untuk menolong orang lain?
siapa yang membentuknya menjadi orang yang tidak peka dengan lingkungan?
siapa yang menghancurkan harga dirinya? siapa yang melatihnya menjadi pemalas?
Saat membuat tulisan ini rasanya seperti berdiri di depan cermin.