(Pembicara: Ramdhan, wartawan detik.com, dirangkum oleh Inku Hikari)
Ada beberapa macam produk jurnalistik yaitu: hardnews, softnews, dan feature. Jika pada pertemuan sebelumnya kita membahas tentang hardnews, pada pertemuan kali ini kita akan membahas feature.
Apa itu feature?
Feature merupakan salah satu produk jurnalistik yang berisi tentang
fakta (nonfiksi) bahkan dialognya juga harus nyata dan benar-benar
terjadi, namun dituliskan dengan cara yang lebih lentur dibandingkan
dengan hardnews. Menggunakan gaya bahasa yang sedikit bebas, boleh "nyastra". Biasanya terkait dengan human interest, profil seseorang, wisata, gaya hidup, sejarah, dan lain-lain. Jika pada penulisan berita hardnews yang biasa dimuat di media cetak harus selalu up to date, maka pada penulisan feature isi tidak terikat waktu dan struktur kepenulisannya lebih fleksibel--pada hardnews pola tulisan seperti piramida terbalik, umum ke khusus--
Menulis feature
membutuhkan kemampuan menyusun dan memilih kata agar isi tulisan
feature menyentuh dan menggerakkan emosi pembaca. Di sisi lain bentuk
tulisan ini membutuhkan detil, deskripsi, penjabaran, dan penggambaran
yang lebih banyak dibandingkan dengan hardnews. Tidak ada batasan maksimal untuk penulisan feature, hanya saja tidak boleh terlalu pendek. Jika tulisan panjang, penulis diperbolehkan membuat sub-sub judul.
Contoh feature:
Tsunami Itu Datang Sebelum Sakura Mekar
Oleh: Ahmad Arif
Suhu dua derajat di bawah nol. Tanpa listrik, tanpa pemanas ruangan.
Namun, Sekolah Menengah Atas Torio, Kesennuma, Prefektur Miyagi,
Jepang, yang dijadikan barak pengungsian itu terasa hangat oleh kasih
dan rasa hormat kepada kemanusiaan yang tak mengenal batas suku,
bangsa, dan agama.
Di antara harapan untuk segera
pulang ke Tanah Air, terasa betul bahwa 33 remaja putri asal Indonesia
yang menjadi korban tsunami itu berat meninggalkan Kesennuma.
Demikian juga sebaliknya, orang-orang Jepang di pengungsian seperti
tak rela melepas kepergian anak-anak Indonesia. Beberapa di antara
mereka naik ke bus penjemput dan menyalami anak-anak itu hingga saat
terakhir sebelum keberangkatan. Bahkan, sebelumnya, penanggung jawab
pengungsian meminta kepergian itu ditunda hingga keesokan paginya.
Setelah bernegosiasi sekitar sejam, Kepala Atase Pendidikan Budaya
Kedutaan Besar RI di Jepang Edison Munaf akhirnya berhasil mengevakuasi
para korban malam itu juga ke Tokyo. Anak-anak ini adalah lulusan
sejumlah sekolah menengah kejuruan di Indonesia yang tengah magang
sekaligus bekerja di empat perusahaan pengolahan hasil laut di
Kesennuma.
Sebelum bus pergi, Mikasa-san, salah
seorang pengungsi, menyerahkan kantong plastik penuh berisi roti kepada
anak-anak itu sebagai bekal perjalanan menuju Tokyo sejauh sekitar 330
km dari Kesennuma.
”Mereka selalu baik kepada kami. Bahkan, tetap baik saat bencana,” kata Marlina, remaja asal Brebes, Jawa Tengah, yang sudah 2,5 tahun tinggal dan bekerja di pabrik pengolahan telur ikan salmon di Kesennuma.
Menurut
dia, orang-orang Jepang di Kesennuma sering menyambangi rumah kontrakan
anak-anak Indonesia dan membagikan makan. ”Kami bukan siapa-siapa,
tetapi mereka menerima kami seperti saudara, bukan hanya melihat kami
sebagai pendatang,” katanya.
Bahkan, menurut rekan
Marlina, Yulianti (19), asal Cirebon, pada hari pertama setelah gempa
dan tsunami, ketika hanya tersisa sebuah jeruk di pengungsian,
orang-orang Jepang itu membagi satu ruas jeruk untuk satu orang. ”Tak
peduli asli Jepang atau tidak. Semua mendapat bagian,” kata Yulianti.
Karena itu, bagi Yulianti, bus jemputan itu terlalu cepat datangnya.
”Kami belum sempat berpamitan dengan mereka semua,” ucapnya.
Ketegaran yang menular
Kesennuma termasuk salah satu daerah yang terparah diamuk tsunami.
Dari 75.000 warga, 20.000 orang di antaranya menjadi pengungsi. ”Banyak
korban di sini. Yang hilang masih 1.500 orang,” kata Mikasa.
Selain rumah, pelabuhan dan pabrik-pabrik pengolahan hasil laut tempat
magang ke-33 remaja putri asal Indonesia itu juga hancur. Perempuan
Kesennuma itu mengisahkan bencana tersebut dengan tegar. Tak ada tangis
ataupun keluh kesah. ”Semua cukup di sini. Ada air, ada makanan. Hanya
listrik yang padam,” katanya.
Ketegaran itu menjalar pada remaja-remaja putri Indonesia. ”Saya belajar banyak dari mereka, seperti kerja keras, disiplin, dan tak banyak mengeluh,” kata Marlina.
Ketegaran itu menjalar pada remaja-remaja putri Indonesia. ”Saya belajar banyak dari mereka, seperti kerja keras, disiplin, dan tak banyak mengeluh,” kata Marlina.
Saat gempa mengguncang pada Jumat (11/3),
Marlina dan kawan-kawannya tengah bekerja di pabrik sekitar 100 meter
dari tepi laut. ”Lima menit setelah gempa, ada peringatan akan ada
tsunami 6 meter,” kata Sofiah (21), asal Jepara, Jawa Tengah.
Segera para pekerja pabrik ini berlari ke arah bukit yang berada tepat
di belakang pabrik. ”Saat baru datang di Kesennuma, kami diajari apa
yang harus dilakukan saat terjadi gempa dan tsunami,” katanya.
Dari atas bukit itu, dia melihat pabrik tempatnya bekerja hancur
dihantam tsunami. Demikian juga rumah kontrakan mereka luluh lantak,
menghanyutkan seluruh barang pribadi mereka. ”Kami beruntung di
belakang pabrik ada bukit tinggi. Semua karyawan di pabrik selamat,”
ujarnya.
Marlina mengisahkan bencana yang nyaris
merenggut nyawanya itu dengan tenang. Demikian juga Sofiah, yang
terdengar sangat tenang saat menelepon pacarnya untuk pertama kali
setelah gempa dan mengabarkan bahwa dia serta teman-temannya selamat.
”Semua barang pemberian ’Aa’ hilang. Hanya yang tersisa di badan. Saya
juga masih memakai seragam perusahaan dan sepatu bot,” kata Sofiah
kepada keluarganya di seberang telepon.
”Jadi,
jangan kaget kalau nanti pulang kami masih pakai sepatu bot dan seragam
kerja. Kami juga bau ikan. Tetapi, yang terpenting kami semua di sini
selamat,” tuturnya.
Namun, remaja-remaja ini sedikit
resah dalam perjalanan di bus menuju Tokyo itu. Mereka mendiskusikan
masa depan sekembali pulang ke Indonesia. ”Di Indonesia ada pekerjaan
apa, ya? Kami tidak mau hanya menunggu datang orang ’membawa lemari’
(dilamar),” kata Irma (19), yang juga asal Jepara.
Yulianti menimpali, dia baru sembilan bulan, belum cukup mengirim uang
ke rumahnya. ”Belum ada modal untuk buka usaha sendiri. Maunya balik
kembali ke sini nanti,” ucapnya.
Apakah tidak takut
terhadap gempa dan tsunami lagi? ”Urusan gempa dan tsunami wallahualam
(saya serahkan kepada Tuhan). Di Indonesia juga sama saja, banyak
bencana,” kata Yulianti.
Sakura di Kesennuma
Marlina, Sofiah, Yulianti, dan kawan-kawannya seharusnya menyelesaikan
magang tiga tahun di Kesennuma. Marlina sedikit lebih beruntung karena
telah menjalani 2,5 tahun di Kesennuma. Marlina dua kali melihat bunga
sakura bermekaran. Banyak kawannya yang baru mengalami masa tinggal di
Kesennuma dalam hitungan bulan dan itu yang membuat mereka sedikit
”iri” kepada Marlina.
Misalnya, Fida Aisyah (19) dan
Irma (19), yang baru tinggal di Kesennuma sembilan bulan. Mereka
termasuk yang menyesal karena belum pernah melihat bunga sakura
bermekaran. ”Saya belum berfoto di bawah pohon sakura,” kata salah
seorang di antara mereka.
Tahun ini, sakura belum lagi mekar di Kesennuma. Salju masih menyelimuti sebagian besar daratan Jepang bagian utara. Namun, sebentar lagi salju itu sepertinya akan meleleh. Setidaknya malam itu, kehangatan suasana telah melelehkan rasa dingin yang membekukan. Andai ”sakura” bisa bermekaran di Indonesia, tentu remaja-remaja putri itu tak akan jauh-jauh datang ke Kesennuma....
Sumber: Kompas.com
0 komentar:
Posting Komentar