Home » » Sepucuk Surat untuk Rektor

Sepucuk Surat untuk Rektor




Ditinggalkan bapak
Aku berjalan di koridor RS berarsitektur jaman Belanda, sudah beberapa minggu terakhir bapak dirawat di RS karena sakit paru-paru. Saat itu aku masih kuliah di Universitas Airlangga fakultas kedokteran. Sungguh, ini saat-saat yang sulit, bapak hanya pegawai perkebunan dengan gaji yang kecil sementara ibu tidak bekerja.
            Keluargaku termasuk keluarga miskin, jika dibandingkan dengan saudara-saudara bapak yang lain. Syukurlah semua saudara bahu-membahu menutupi biaya perawatan bapak.
            Suatu hari aku mendapat kabar duka, bapak meninggal setelah sekian lama berada di ICU. Bapak meninggal saat aku masih kuliah tingkat satu. Rasa kehilangan menyelimuti hatiku, biarpun bapak orang yang keras memegang prinsip, galak dan disegani tapi satu hal yang selalu kuingat, dalam kondisi serba kekurangan bapak suka menolong saudara-saudaranya yang sedang kesusahan, menampung dan mengijinkannya tinggal di rumah.
            Jenazah bapak dibawa ke Kediri untuk dimakamkan, gundukan tanah kuburan itu masih basah. Aku berjongkok di sisinya, mengirimkan hadiah kecil untuk bapak, surat Al-Fatihah. Kala itu aku hanya bisa pasrah, tidak tahu apa yang akan terjadi nanti. Apakah aku masih bisa melanjutkan kuliah atau tidak? Dijalani saja.
            Esok harinya aku segera kembali ke Surabaya, dengan menumpang truk pengangkut tebu dari Kediri ke Surabaya. Hal itu biasa kulakukan untuk menghemat biaya transportasi, supir truk tidak pernah menarik ongkos atas tumpangan yang diberikan.
***
Kondisi semakin menghimpit
            Selama tinggal di Surabaya, aku menyewa kamar kost bersama dengan kedua sepupuku. Kami bersama-sama menanggung biaya makan sehari-hari dan sewa kost. Alhamdulillah, biaya makan dan kost tertutupi karena patungan.
            Biaya kuliahku masih ditanggung ibu, ibu biasa menggadaikan kain batik untuk menutupi biaya kuliah. Pada tahun 1969, kain batik adalah barang berharga yang bisa digadaikan.
            Sedangkan untuk menghemat biaya transportasi aku pergi ke kampus menggunakan sepeda. Hidup ini memang penuh perjuangan, beberapa sanak keluarga mulai memandang sinis, “Gimana kamu mau jadi dokter, Ris? Lha wong uang aja kamu ndak punya,” kata Pak De Juno.
            Biarlah, apapun yang dikatakan orang lain, aku tak peduli. Sudah kepalang tanggung, apa pun yang terjadi aku harus menyelesaikan kuliah. Hari demi hari kuisi dengan belajar, pagi sampai siang hari kuliah, sore hari praktek dan malam hari waktunya untuk mencatat di perpustakaan.
            Kala itu, jangankan untuk membeli buku teks kedokteraan untuk membeli buku tulis saja tak mampu, untuk mensiasatinya aku biasa mencatat bahan pelajaran di kertas bekas, dan memanfaatkan perpustakaan untuk membaca buku-buku teks kuliah. Terkadang beberapa temanku yang kaya meminta bantuan untuk dikerjakan tugasnya, dengan senang hati aku membantunya. Itu berarti aku bisa membaca buku gratis, alat-alat praktikum pun tak pernah kubeli. Aku meminjamnya dari teman-teman yang kaya.
            Hari demi hari berjalan, masalah-masalah yang ada masih bisa kuatasi. Hingga suatu hari kedua sepupuku putus sekolah dan pulang kampung, mereka sama miskinnya sepertiku. Kondisi semakin menghimpit, aku tak mampu membayar sewa kost dan biaya kuliah tersendat-sendat.
            Dalam keadaan sulit aku meminta bantuan sanak saudara di Surabaya, alhamdulillah, Pak De Dar mau menampung dan mengijinkan untuk tinggal di rumahnya. Paling tidak aku tak perlu lagi memikirkan biaya makan dan sewa kost. Sebagai gantinya aku mengerjakan pekerjaan rumah selama menumpang di rumah Pak De Dar, sebelum berangkat kuliah mencuci piring, mengepel dan mengajak bermain para keponakan adalah hal yang sering kulakukan. Seperti itulah caraku membalas budi. Permasalahannya sekarang tinggal biaya kuliah.
***
Sepucuk surat untuk Rektor
            Sudah beberapa minggu kiriman dari ibu belum datang juga, sedangkan batas akhir pembayaran kuliah tinggal seminggu lagi. Aku tidak mau menyerah, sudah menjadi tekadku sejak pertama kali datang ke Surabaya untuk lulus menjadi dokter. Sudah terlalu banyak pengorbanan ibu dan pengorbanan orang-orang yang menolongku.
Aku berpikir dengan keras, bagaimana caranya agar tetap bisa kuliah? Akhirnya dengan bermodal nekat aku mencoba mengirim surat kepada Rektor. 
Kepada
YTH. Rektor Fakultas Kedokteran
Universitas A
            Di tempat
 
Assalamu’alaikum, wr, wb
            Bapak Rektor yang terhormat, mohon maaf sebelumnya atas surat yang saya kirim. Saya Aris Suwarsono, mahasiswa fakultas kedokteran tingkat satu Universitas Airlangga. Memohon kesediaan Bapak Rektor untuk memberi keringanan biaya kuliah.
            Bapak saya baru saja meninggal. Saya tidak mampu membayar biaya kuliah. Tapi ingin tetap kuliah dan menamatkan pendidikan menjadi dokter.
Sudilah kiranya Bapak Rektor memberikan keringanan. Saya tidak dapat membalas kebaikan Bapak Rektor selain dengan ucapan syukur dan lantunan doa.

Wassalamu’alaikum, wr, wb
Tertanda,
A.S
Ketika itu Pak Rektor dikenal orang yang tegas, galak, berwibawa dan ditakuti mahasiswa. Mahasiswa yang hadir terlambat akan mendapat hadiah, yaitu ditarik jambangnya. Aku sendiri tidak yakin apa ia mau memenuhi permintaanku agar diringankan biaya kuliahnya. Lagi-lagi, hanya bisa pasrah. Segala daya upaya sudah kukerahkan, surat itu dititipkan di bagian kemahasiswaan.
***
Di balik kekerasan ada kelembutan
            Hari demi hari berlalu, batas akhir pembayaran biaya kuliah sudah lewat. Aku masih menanti jawaban dari Pak Rektor atas sepucuk surat yang kukirim. Namun waktu terus berjalan, tidak ada tanggapan. Aku menjalankan aktivitas kuliah seperti biasa.
            Keajaiban terjadi, tidak ada seorang pun dari bagian kemahasiswaan yang menagih biaya kuliah. Hal itu terjadi tidak hanya sekali, bahkan sampai aku lulus kuliah tidak pernah sekalipun pihak kampus menarik bayaran.
            Teringat olehku akan sosok Pak Rektor, apakah ia mengabulkan permohonanku dan membebaskan biaya kuliah? Entahlah, tidak ada pemberitahuan sedikit pun dari pihak kampus.
            Terkadang jika mengingat sosok Pak Rektor rasa haru mengisi hatiku. Di balik kekerasannya ada kelembutan. Ia masih peduli terhadap nasib mahasiswanya.
***
Wisuda yang dinantikan
            Aku berhasil menamatkan kuliah di tahun 1975, selama kuliah tidak ada kesulitan akademis yang berarti. Alhamdulillah, aku selalu lulus untuk semua mata kuliah dan dan tidak pernah mengulang.
            Setelah melewati masa-masa koas, aku di wisuda. Ditemani ibu dan Pak De Dar. Senang, haru, dan lega bercampur di dalam dada. Kulihat ibu, matanya berkaca-kaca, ada senyum keharuan di bibirnya. Bukanlah perjuangan yang mudah bagi ibu membesarkanku sendirian. Seringkali ibu berhutang dan menggadaikan batik untuk mengirimkan sejumlah uang yang tak seberapa untukku. Terima kasih ibu, aku persembahkan gelar dokter ini untukmu. (Kisah ayahanda tercinta).
 sumber gambar: http://www.google.com/imgres?imgurl=http://fuh.my/wp-content/uploads/2013/08/surat-lama.jpg



0 komentar:

Posting Komentar


Focus Private

Les Privat

Les Privat Focus Private adalah lembaga pendidikan yang mengkhususkan diri sebagai spesialis les privat guru ke rumah untuk mata pelajaran eksakta yaitu Matematika, Fisika, dan Kimia. Info 082312091982
Diberdayakan oleh Blogger.

Popular Posts

Total Tayangan Halaman