Membaca kisah-kisah Down Syndrom membuatku teringat dengan peristiwa tiga tahun yang lalu, saat putri kecilku lahir ke dunia. Semua orang menyambut kelahiran makhluk mungil tak berdosa dengan tawa bahagia.
Sementara aku menyambutnya dengan kesedihan dan derai air mata.
Ketika putriku berusia lima hari dokter memprediksi Down Syndrom. Jarak kedua matanya memang jauh, mata sipit dengan ujung seperti tertarik ke atas dan batang hidungnya datar.
Hanya ciri-ciri itu yang tampak. Jantungnya baik, tangisnya kencang, dan kuat menyusu.
Mendengar perkiraan itu rasanya seperti tertimpa reruntuhan, sehari
semalam aku menangis tanpa henti hingga kelelahan. Rasanya sangat sulit
menerima kenyataan, semua pikiran buruk terlintas, membuat kepalaku
penat. Tentang biaya terapi yang mahal, anak yang rentan penyakit,
lambat perkembangan mentalnya, biaya berobat ke rumah sakit, biaya
pendidikan, dan lain-lain.
Selama beberapa hari aku bahkan enggan menggendongnya, hanya menggendongnya ketika sedang menyusui. Syukurlah keluarga sangat mendukung.
“Dia darah dagingmu, bagaimanapun kondisinya harus diterima,” ucap ibuku dengan penuh kelembutan.
Suami juga sangat menyayangi putri kecil kami, dia yang banyak
mengambil alih tugas ketika aku terpuruk dalam kesedihan. Melihat
ketulusannya aku berusaha bangkit. Jika bukan kami, orang tuanya yang mengurus dan membesarkan, siapa lagi? Perlahan aku berusaha menerimanya sembari mencari pendapat dari dokter lain. Jawaban yang kudapat selalu sama.
“Anak ibu sepertinya ada Down Syndrom, tapi tidak terlalu tampak… mungkin tingkatannya ringan.”
Dokter menyarankan untuk tes kromosom. Aku terus mencari informasi tentang Down Syndron, hingga akhirnya
bertemu dengan komunitas yang menampung para orang tua dan anak Down
Syndrom.
Aku banyak belajar dari mereka tentang ketangguhan dan kesabaran.
Mereka orang tua yang luar biasa. Dititipkan anak spesial bukan akhir
dunia. Meskipun terkadang kesedihan menyapa ketika melihat anak lain
berceloteh dan berlari di atas kaki mungilnya. Berbagai tanya datang
silih berganti. Apa kelak anakku bisa berjalan? Kapan dia bisa
memanggilku “Mama”? Apa nanti dia bisa ke kamar kecil sendiri? dan
lain-lain.
Saat itu aku merasakan manusia benar-benar kecil, orang tua hanya bisa berusaha dan pasrah pada-Nya. Setiap melihat sedikit perkembangan rasanya seperti keajaiban. Aku
hampir saja melonjak kegirangan ketika mendengarnya mengucapkan kata
pertama dan bercerita ke semua orang ketika dia berhasil melangkahkan
kaki mungilnya. Seakan-akan ingin berkata pada seluruh dunia, “Lihat!
Dia bisa melakukannya.”
Setahun kemudian tes kromosom menunjukkan hasil negatif, anakku bukan Down Syndrom. Dia sama seperti anak yang lain. Rasanya seperti mimpi, hampir saja aku mencubiti pipi sendiri. Selama
setahun aku menganggapnya berkebutuhan khusus. Rasanya beban berat
dipundakku hilang seketika.
Setiba di rumah aku sujud syukur diiringi tetesan air mata yang tak
terbendung. Manusia memang tidak pernah tahu kemana jalan takdir
membawanya. Peristiwa itu membawa banyak hikmah, membuka jalinan silaturahim
dengan para orang tua anak spesial. Jasa mereka tak akan pernah bisa
dilupakan.
(Tulisan ini telah dimuat di http://kreasianaknegeri.com)
0 komentar:
Posting Komentar