Umar menangis. Dilemparkannya pandangan ke sekeliling rumah
nan sederhana, kosong melompong. Padahal pemiliknya gubernur dari
daerah yang terkenal makmur.
Syam ditaklukan oleh pemimpin bersahaja bernama Abu Ubaidah, orang terpercaya dari kalangan umat ini.
Pemandangan itu sangat membekas di hati Umar. Dia berkata, "Semua dari kita telah diubah oleh dunia, kecuali Abu Ubaidah."
Tidak hanya Abu Ubaidah, kesederhanaan juga milik Salman
Al-Farisi. Dia pemuda yang mencari kebenaran Islam dalam waktu dan
perjalanan yang panjang. Berkelana dan berpindah-pindah guru hingga
akhirnya bertemu Rasulullah SAW.
Suatu ketika Salman hendak membangun rumah. Dipililah
tukang bangunan yang bijaksana. Tukang itu tahu selera Salman. Bagi pria
yang berasal dari Persia itu rumah hanyalah sebatas kebutuhannya untuk
berteduh dan mengistirahatkan badan, bukan gaya hidup.
Tukang itu berkata, "Tuan jangan khawatir. Rumah ini bisa
digunakan untuk bernaung dari terik matahari dan berteduh dari hujan.
Jika Tuan berdiri, kepala Tuan akan sampai ke atap, dan jika Tuan
berbaring, kaki Tuan akan menyentuh dindingnya."
Dari rumah seperti itulah lahir generasi terbaik.
Jika kita menengok sisa-sisa peradaban terdahulu kita dapati bahwa kemegahan bukan tolak ukur kemajuan sebuah bangsa.
Lihatlah kaum Ad, kota mereka bernama Iram dengan pasak-pasak yang tinggi. Kita bisa mengingat sejarah tentang piramida di Mesir
dengan segala kecanggihan teknologi pada zamannya. Toh hari ini semua
kehebatan itu tinggal masa lalu.
Melihat Rumah Kita Hari Ini
Sama halnya seperti Masjid, rumah juga memiliki fungsi. Bukan hanya Masjid yang perlu dimakmurkan.
Inilah sebab mengapa Rasulullah SAW memerintahkan kita untuk melakukan ibadah di dalam rumah.
Sabda Rasulullah saw, ”Lakukanlah shalat-shalat kalian di rumah-rumah kalian dan janganlah engkau menjadikannya kuburan.”
Melakukan ibadah-ibadah sunnah yang tidak disyariatkan di Masjid menghidupkan rumah kita. Bukan, bukan rumah yang dipenuhi kelalaian yang disukai
Allah SWT. Bukan rumah dengan sound sistem yang memperdengarkan musik
keras-keras tanpa henti, hatta ketika azan berkumandang. Juga bukan
rumah dengan fasilitas home teater yang membuat penghuninya lupa waktu.
Tapi rumah yang diberkahi, karena ketaqwaan penghuninya,
akhlak baiknya. Allah SWT akan menjadikan rumah sebagai tempat pulang
yang selalu dirindukan.
Bukankah hari ini kita mendapati rumah yang tak jauh beda
seperti neraka? Di dalamnya penuh teriakan dan amarah, keluh kesah
berkepanjangan. Padahal tak kurang sesuatu apapun.
Hari ini kita dapati rumah-rumah yang dingin, hangatnya
selimut mahal tidak bisa menggantikan kehangatan keluarga. Saat
anak-anak itu pulang ke rumah mereka terpaksa menelan kecewa. Tak ada
ayah atau ibu, hanya pengasuh, televisi, gadget, dan internet. Semua
fasilitas itu tak cukup membuat mereka puas.
Kemana mereka berlari? Padahal dari rumahlah seharusnya
tercetak generasi muslim penerus yang dididik langsung oleh ayah dan
ibunya. Rumah berfungsi sebagai madrasah pertama.
Jika semua orang pergi meninggalkan pos penjagaan, maka
siapa yang akan mendidik mereka? Apakah pengasuh? Padahal mereka
terbentuk dari sperma ayahnya dan ovum ibunya. Mereka terlahir dari
rahim ibu kandung, bukan pengasuh. Sudah seharusnya pengasuhan anak
tidak di over kontrak.
Tidak penting seberapa megah dan mewahnya fasilitas yang
tersedia di rumah kita, bukan kemewahan yang menjadi landasan membangun
generasi berbobot.
Mari mencontoh Umar bin Abdul Aziz. Dia memiliki 11 anak.
Ketika wafat hanya meninggalkan warisan 18 dinar. Itu pun masih
dikurangi lima dinar untuk membeli kafan dan empat dinar untuk membeli
tanah makam. Sisanya sembilan dinar dibagi kepada semua ahli warisnya.
Sementara Hisyam bin Abdul Malik meninggalkan warisan untuk anak-anaknya satu juta dinar.
Ironis, salah satu anak Hisyam mengemis di pasar
sepeninggalnya, sementara anak Umar bin Abdul Aziz bersedekah 100 ekor
unta untuk jihad fii sabilillah.
Maka apa yang membedakan anak-anak itu? Tak lain bekal yang
telah disiapkan oleh orang tuanya. Umar bin Abdul Aziz membekali
anak-anaknya ketaqwaan pada Allah SWT, bukan kekayaan dan kemewahan. Itu
semua berawal dari rumah.
0 komentar:
Posting Komentar